Hubungan Antara Tingkat Kecerdasan dan Religiusitas

Hubungan Antara Tingkat Kecerdasan dan Religiusitas, Belajar Sampai Mati, belajarsampaimati.com, hoeda manis
Ilustrasi/10wallpapers.com
Mana lebih cerdas, orang yang religius atau yang tidak religius? Jawabannya mungkin cukup menyakitkan bagi sebagian orang. Jika merujuk pada studi terbaru yang dilakukan untuk hal ini, ditemukan fakta bahwa rata-rata orang yang tidak religius atau ateis memiliki tingkat kecerdasan lebih tinggi dibanding orang-orang yang religius.

Miron Zuckerman dari University of Rochester dan Jordan Siberman dari Judith Hall of Northeastern University melakukan penelitian dengan menggunakan meta-analisis terhadap 63 studi yang dilakukan antara tahun 1928 hingga 2012. Dengan cara itu, keduanya mengecek kembali sampel studi, kualitas analisis, metode penelitian, serta bias yang mungkin ada dalam setiap studi.

Hasil analisis mereka, yang dipublikasikan di Personality and Social Psychology Review, menunjukkan sebanyak 53 studi menyatakan bahwa orang-orang religius memang memiliki kecerdasan lebih rendah dibanding yang tidak religius, dan hanya 10 studi yang menyatakan sebaliknya.

Dalam studi ini, kecerdasan didefinisikan sebagai “kemampuan mengemukakan alasan, merencanakan, menyelesaikan masalah, berpikir secara abstrak, menguraikan gagasan, berpikir cepat, serta belajar dari pengalaman”.

Singkatnya, kecerdasan adalah kemampuan analisis, dan bisa diukur berdasarkan tes IQ, tes masuk universitas, IPK, dan sebagainya. Di sisi lain, religiusitas adalah kepercayaan terhadap hal-hal supernatural, dan kesadaran untuk menjalankan ritual keagamaan, dan lainnya. Religiusitas bisa diukur berdasarkan frekuensi datang ke tempat ibadah, atau keanggotaan pada organisasi agama tertentu.

Pertanyaannya sekarang, mengapa orang-orang dengan kecerdasan tinggi lebih tidak religius atau cenderung ateis?

Ada banyak kemungkinan, di antaranya karena mereka—orang-orang dengan kecerdasan tinggi—tidak mau berkompromi dan menerima dogma begitu saja. Jika berada di lingkungan masyarakat religius, orang-orang tersebut justru cenderung ateis. Selain itu, orang-orang dengan kecerdasan tinggi lebih percaya pada bukti empirik, sesuatu yang memang bisa dilihat.

Miron Zuckerman mengungkapkan, orang-orang dengan kecerdasan tinggi berpikir lebih analitis, yaitu secara terkontrol, sistematis, dan lebih lambat. Hal itu berbeda dengan orang-orang religius yang cenderung kurang analitis dan berpikir cepat. Kemudian, orang dengan kecerdasan tinggi cenderung tidak religius, kemungkinan karena fungsi-fungsi agama bisa dipenuhinya melalui kecerdasan.

Meski begitu, hasil studi ini mungkin hanya valid untuk wilayah Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada, tempat 87 persen orang yang diambil sampelnya berasal. Kesimpulan ini juga tampaknya tidak bisa diterapkan pada masyarakat yang dominan ateis, seperti Skandinavia, atau yang dominan religius, seperti Indonesia. Bagaimana pun, studi empiris perlu dilakukan.

Hmm… bagaimana menurutmu?

Related

Studi 7919868588965713486

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item