Yang Terlihat dan Yang Terasa
https://www.belajarsampaimati.com/2024/09/yang-terlihat-dan-yang-terasa.html
Ilustrasi/ai-care.id |
Di timeline X, sekian waktu lalu, saya mendapati iklan mobil keluaran baru. Iklan itu berupa video yang memperlihatkan mobil tersebut melaju lincah di jalanan, dilengkapi kapsi yang menjelaskan keunggulan mobil tersebut. Saya tidak perlu menjelaskan nama/merek mobil di iklan itu, tapi mari sebut dengan nama Mobil Z.
Ketika pertama kali melihat iklan itu, saya membatin, “Cakep bener ini mobil.” Faktanya, mobil itu memang memiliki desain bodi yang cakep, dengan garis-garis lekuk yang tajam, dan lampu-lampu yang terkesan futuristik. Untuk ukuran mobil lain dengan tipe serupa—dari merek/pabrikan lain—menurut saya Mobil Z tampak lebih menggoda. Harga Mobil Z juga setara dengan mobil-mobil lain selevelnya.
Kaum pria punya ketertartikan khas pada mobil, termasuk iklan mobil, terlepas mampu beli atau tidak. Jadi, saya juga suka melihat mobil, meski belum tentu mampu membeli. Suka tidak berarti harus memiliki, kan? Bagi kebanyakan pria, melihat mobil keren saja sudah senang.
Kembali ke Mobil Z yang saya lihat di iklan tadi. Iklan mobil itu mungkin akan terlupa begitu saja, andai tidak ada peristiwa lain.
Suatu pagi, ketika saya baru nyeruput kopi sambil menikmati udud, ponsel saya berbunyi, dan ada pesan yang masuk ke WhatsApp. Dari Alvin. Isi pesan itu singkat, “Kamu mau nemenin aku ke Cirebon?”
Saya membalas, “Kapan?”
“Nanti, agak siangan.”
“Ngapain ke Cirebon?”
“Aku pengin tahu gejrot.”
Chat tidak ilmiah dengan isi tidak ilmiah, batin saya. Lalu saya mengetik balasan, “Kamu baik-baik aja?”
“Nggak. Makanya aku perlu tahu gejrot. Kamu mau nemenin?”
Jika komunikasi itu dibalik—saya yang meminta Alvin—saya tahu dia akan memenuhi permintaan saya. Jadi, saya punya kesadaran moral untuk memenuhi permintaannya, wong sekadar menemani dia ke Cirebon untuk makan tahu gejrot. Persetan, ada orang pergi ke Taiwan cuma untuk makan telur basi, ada orang pergi ke Jepang cuma untuk makan sup gurita, ada orang pergi ke Vegas cuma untuk makan sate kelinci. Apa salahnya kalau saya menemani teman ke Cirebon untuk makan tahu gejrot?
Saya pun mengetik balasan, “Oke, jemput aku.”
Dua jam kemudian, Alvin menelepon, “Aku udah di depan sekarang.” [Maksudnya di depan gang.]
Saya pun keluar rumah, lalu melangkah ke depan gang yang memang tidak jauh dari rumah. Di depan gang, saya tengak-tengok, mencari mobil Alvin yang sudah saya kenal, tapi tidak terlihat di mana pun. Saya malah mendapati mobil berwarna putih yang tampak kinclong, persis seperti yang saya saksikan di timeline X, terparkir di pinggir jalan. Itu Mobil Z yang saya lihat di iklan. Selama sesaat, saya memandangi mobil itu, mengagumi desain bodinya yang menawan.
Kepala Alvin muncul dari balik jendela mobil itu, dan terdengar memanggil saya. Agak kaget, saya mendapatinya tengah tersenyum dari dalam mobil. “Bocah ini rupanya lagi ingin pamer,” pikir saya sambil melangkah mendekati mobil barunya.
Saya meraih handel pintu, membukanya, lalu duduk di samping Alvin yang telah menunggu di belakang setir. “Tahu gejrot untuk merayakan mobil baru?” tanya saya sambil memasang seatbelt.
Alvin tertawa. Lalu dia menyalakan mesin, dan mobil mulai melaju.
Sepanjang perjalanan, Alvin memutar lagu klasik Steelheart—She’s Gone—sementara saya asyik memperhatikan interior mobil.
Sejujurnya, saya agak kaget melihat interior mobil itu, karena yang saya dapati adalah hal-hal standar seperti pada mobil-mobil di kelasnya. Dasbor standar, panel standar, audio standar, bahkan joknya pun standar. Tidak ada yang istimewa. Padahal, mobil ini memiliki desain bodi yang menawan saat dilihat dari luar, dan desain bodi itu membuat saya membayangkan isi (interior) yang menakjubkan. Nyatanya standar saja. Di atas semua itu, ada sesuatu yang kelak akan membuat saya kecewa.
Audio mobil masih menyuarakan She’s Gone, dengan suara Miljenko Matijevic yang melengking. Alvin tampaknya sengaja me-repeat lagu itu berulang kali—mungkin sampai kiamat—hingga saya merasa hafal di luar kepala, bahkan setiap ketukan nadanya.
Saya bertanya, “Kamu sekarang jadi penggemar Steelheart atau gimana?”
“Aku putus sama Novi,” sahut Alvin sambil terus menyetir.
Novi (bukan nama sebenarnya) adalah pacar Alvin, dan mereka sudah berhubungan dua tahunan terakhir. Sebagai teman, saya tahu Alvin sangat mencintai Novi, dan saya pun semula yakin kalau hubungan mereka akan sampai ke pernikahan. Tapi sekarang Alvin mengatakan mereka putus.
“Itulah kenapa sekarang aku ingin tahu gejrot,” sambung Alvin.
Otak saya memikirkan setumpuk pertanyaan, di antaranya; apa hubungan tahu gejrot dengan putusnya dia dengan pacar? Kenapa dia harus makan tahu gejrot di Cirebon, padahal di tempat kami juga banyak penjual tahu gejrot? Secara kausalitas, bagaimana putus dengan pacar dan tahu gejrot memiliki kesinambungan? Secara statistik, berapa banyak cowok yang tiba-tiba ingin makan tahu gejrot setelah putus dengan pacarnya—dan apakah Alvin termasuk persentase mayoritas? Dan akhirnya, sialan, apa konklusi yang bisa dipahami dari orang yang tiba-tiba melakukan perjalanan 152 kilometer hanya untuk makan tahu gejrot setelah putus dengan pacarnya?
Ingin sekali saya menumpahkan pertanyaan-pertanyaan itu pada Alvin, yang masih terus menyetir, tapi saya menyadari itu bukan hal bijak. Orang yang sedang patah hati karena putus dengan pacarnya, serupa dengan orang yang lagi jatuh cinta dan mabuk kepayang. Sama-sama tidak bisa berpikir rasional. Jadi, saya pun menelan tumpukan pertanyaan tadi, sambil berharap kelak menemukan jawabannya di buku atau jurnal atau majalah atau apapun yang akan saya baca. Tahu gejrot! Ya Tuhan!
Diiringi lagu She’s Gone yang lamat-lamat terdengar, mobil yang kami tumpangi terus melaju ke Cirebon. Alvin ngoceh tentang patah hatinya, asal usul putusnya dia dengan pacar, betapa dia sangat menyesali putusnya hubungan mereka, yatata yatata, dah dah, asu kabeh sak kecamatan, dan seterusnya dan seterusnya, lalu yatata yatata lagi, dah dah lagi, asu kabeh sak kecamatan.
Seiring dengan itu, diam-diam saya merasakan punggung yang sangat pegal. Mobil baru ini sepertinya tidak ergonomis!
Sekadar catatan, ada kendaraan-kendaraan—motor ataupun mobil—yang hanya cocok untuk dikendarai dalam jarak dekat, ada pula yang nyaman digunakan untuk perjalanan jarak jauh. Kendaraan yang hanya cocok untuk perjalanan jarak dekat—hanya di dalam kota—umumnya memiliki desain yang cakep, tapi tidak ergonomis. Sejam atau dua jam kamu mengendarainya, badanmu akan pegal-pegal tak karuan. Karena kendaraan itu mungkin hanya cocok untuk pergi ke kampus, ke pasar, atau untuk menghadiri walimah. Atau setidaknya untuk kamu pamerkan saat hangout bareng teman-teman.
Sementara kendaraan yang enak dipakai untuk perjalanan jarak jauh—misalnya untuk bepergian ke luar kota—biasanya didesain secara ergonomis, sehingga dapat dikendarai dengan nyaman tanpa menimbulkan pegal atau capek berlebihan.
Mobil baru yang sekarang dikendarai Alvin—yang iklannya saya lihat di timeline X—jelas jenis kendaraan dalam kota, atau untuk perjalanan dekat. Memiliki tampilan menawan, tapi tidak ergonomis. Dan Alvin sendiri mengakui hal itu, ketika akhirnya kami sampai di Cirebon, dan berhenti di tempat penjual tahu gejrot.
Begitu turun dari mobil, Alvin memegangi pinggangnya sambil berfatwa, “Punggungku rasanya mau patah! Bagaimana punggungmu?”
“Aku merasa baru squat-jump seribu kali.”
Alvin tertawa.
Penjual tahu gejrot itu ada di sebuah tempat yang cukup ramai, dengan orang-orang berlalu lalang di trotoar. Di sampingnya ada penjual minuman yang dikemas dalam gelas plastik. Siang menjelang sore itu, Cirebon terasa agak panas, dan saya serta Alvin duduk di bangku penjual tahu gejrot.
Kami menyantap tahu gejrot yang terasa enak, lalu menyesap teh dingin di gelas plastik. Usai menghabiskan sepiring tahu gejrot, saya menyulut rokok, sementara Alvin memesan sepiring lagi tahu gejrot. Diam-diam saya berpikir, Sigmund Freud mungkin lupa menjelaskan fenomena cowok yang tiba-tiba doyan tahu gejrot setelah putus dengan pacarnya—atau mungkin Freud tidak tahu apa itu tahu gejrot!
Setelah menghabiskan dua piring tahu gejrot, Alvin menyesap teh dinginnya, lalu menyulut rokok sambil meringis kepedasan. “Novi yang ngenalin aku dengan tahu gejrot di sini,” ujarnya di antara asap rokok yang mengepul.
Saya mengangguk-angguk, dan mulai memahami kausalitas putusnya Alvin dengan pacarnya dan kenapa dia ingin menikmati tahu gejrot di Cirebon.
“Dia (Novi) punya famili di sini (Cirebon),” lanjut Alvin dengan nada menerawang, “dan dia mengajakku tiap mengunjungi familinya. Kami selalu mampir ke tempat tahu gejrot ini, dan ada banyak moment—percakapan-percakapan kecil yang menyenangkan—terjadi di sini. Sebenarnya, kami bahkan jadian di tempat ini. Seminggu lalu, waktu kami putus, aku merasa sangat kangen tempat ini, tapi aku... entah kenapa, nggak berani datang ke sini sendirian.”
Saya tersenyum. “Kamu takut makan tahu gejrot sambil mimisan?”
Alvin nyengir. “Semacam itu.” Setelah mengisap rokoknya sesaat, Alvin bertanya, “Kamu pernah putus dengan pacar. Apa yang dulu kamu rasakan?”
“Sedih,” saya menjawab. “Maksudku, amat sangat sedih, dan merasa... sangat kehilangan. Tapi aku nggak sampai ke Cirebon cuma untuk makan tahu gejrot, dan nggak punya uang untuk beli mobil baru.”
Alvin tertawa. “Sebenarnya, aku beli mobil itu sebelum putus dengan Novi. Sekitar dua bulan lalu, aku lihat iklannya di YouTube, dan langsung tertarik.”
Saya tersenyum, “Jangan-jangan dia minta putus karena kamu beli mobil itu?”
Alvin paham gurauan itu, dan dia tertawa-tawa. “Kayaknya nggak, lah,” ujarnya kemudian. “Tapi mobil itu emang bikin kecewa, sih. Ini pertama kalinya aku bawa jauh, sampai ke sini (Cirebon), dan ternyata nggak cocok untuk perjalanan jauh. Padahal desain bodinya sangat bagus.”
Desain bodi mobil itu memang sangat bagus. Garis-garis lekukannya yang tajam, tata letak lampu-lampunya yang terkesan futuristik, menarik perhatian orang-orang yang lewat, dan mereka terlihat memandangi mobil baru Alvin dengan ekspresi tertarik. Orang-orang itu pasti tidak mengira kalau mobil yang tampak menawan itu ternyata bikin punggung nyaris patah kalau dikendarai untuk perjalanan jauh.
Setelah memandangi mobil itu, sebagian orang yang lewat menengok ke arah kami yang masih duduk santai di tempat penjual tahu gejrot. Mungkin mereka berpikir, kami dua bocah yang sedang menikmati kegembiraan hidup, mengendarai mobil bagus dan menikmati tahu gejrot di pinggir jalan dan menyesap teh dingin, lalu mengisap udud seolah dunia tidak akan kiamat. Mereka tidak tahu kalau pemilik mobil itu sedang patah hati dan punggungnya perlu diamputasi.
Sore itu, sambil menikmati pemandangan jalan raya Cirebon yang selalu ramai, dan memandangi orang-orang yang lewat di trotoar, saya memikirkan betapa hal-hal yang terlihat bisa jauh berbeda dengan kenyataannya.
Saya melihat orang-orang yang melangkah santai dengan tas belanjaan di tangan—sebagian mereka bahkan bergandengan dengan pasangan—dan berpikir kalau mereka pasti menikmati hidup yang menyenangkan. Jalan-jalan sore hari, cuci mata di mal, membeli barang-barang yang membuat mereka tertawa senang... tapi siapa yang bisa menjamin realitas hidup yang mereka hadapi memang begitu?
Pelangi selalu terlihat di atas kepala orang lain, dan kita tidak pernah tahu kehidupan macam apa yang dihadapi orang per orang. Ada yang tampak melangkah santai tapi pikirannya berat oleh banyaknya beban. Ada yang menenteng belanjaan, tapi hatinya risau memikirkan banyak masalah dan tagihan. Ada yang bergandengan mesra tapi isi kepalanya penuh kesedihan dan penyesalan—siapa yang tahu?
“Da’,” suara Alvin membuyarkan lamunan saya.
“Ya?”
“Apa pelajaran yang kamu ambil, ketika dulu putus dengan pacarmu?”
Saya menatap orang-orang dan lalu lintas di depan, lalu berkata menerawang, “Jalan di depan kita ramai sekali. Jika kita duduk di sini sampai malam nanti, jalanan akan tetap ramai, bahkan terus ramai. Tapi setelah tengah malam, keramaian ini akan mulai surut, dan perlahan-lahan semakin sepi. Tepat menjelang subuh, kita akan melihat jalanan yang sunyi lengang, dan semua keramaian serta kebisingan ini akan hilang.”
Alvin tersenyum, “Kedengarannya kamu biasa nongkrong di warung tahu gejrot ini.”
Saya ngikik. “Aku nggak memaksudkan omonganku secara harfiah. Maksudku, semua ‘keramaian’ di otak kita—khususnya saat patah hati karena putus dengan pacar—akan berlalu, dan akhirnya akan jadi bagian masa lalu. Mungkin ada hal-hal yang masih ingin kita kenang, tapi sebagian besar selainnya akan terlupakan.”
Saya mengisap rokok yang makin pendek, lalu melanjutkan, “Mungkin aku terdengar tegar sekarang, tapi sebenarnya aku merasa sangat rapuh ketika dulu mengalaminya. Jadi, meski ini terdengar memuakkan, aku tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Dan aku tahu semua itu akan berlalu.”
Saya bangkit, membuang puntung rokok ke tempat sampah, lalu berdiri di hadapan Alvin sambil memegangi pinggang yang sangat pegal. “Sekarang, kayaknya ada hal penting lain yang lebih perlu kita pikirkan.”
“Apa?” tanya Alvin serius.
“Tempat pijat mana yang harus kita datangi setelah pulang nanti?”
Alvin tertawa ngakak sambil memandangi mobilnya.