Persoalan Bintang di Langit

Ilustrasi/tribunnews.com
Umpama saya bilang kepadamu bahwa jumlah bintang di langit adalah 226.831.787.650.491.335.176.498.812, apakah kamu akan percaya? Bisa ya, bisa tidak—dan bodo amat. Kamu percaya atau tidak dengan jumlah itu, juga tidak ada pengaruhnya bagi saya.  

Kenapa saya tidak peduli apakah kamu percaya atau tidak dengan jumlah tadi? Jawabannya sepele; karena saya tidak punya kepentingan apa pun! Kamu percaya dengan jumlah tadi, saya tidak untung sama sekali. Kamu tidak percaya, saya juga tidak merasa rugi. B aja.

Sebaliknya, kalau saya bilang bahwa jumlah bintang di langit adalah 226.831.787.650.491.335.176.498.812, dan saya memaksamu untuk percaya, kamu tentu curiga. Karena, well, kenapa saya harus memaksamu untuk percaya? Kamu akan bertanya-tanya, “Apa untungnya bagimu, kalau aku percaya?”

Kalau saya memang percaya bahwa jumlah bintang di langit adalah 226.831.787.650.491.335.176.498.812, dan saya tidak punya kepentingan apa pun terkait hal itu, saya tidak akan peduli apakah seluruh dunia mau percaya atau tidak. Karena begitulah kebenaran bekerja.

Kebenaran, khususnya dalam perspektif ilmiah, adalah sesuatu yang jika diingkari dengan cara apa pun akan bisa membuktikan dirinya sendiri. Contoh sederhana; api itu panas. Orang mau mengingkari kenyataan itu dengan cara apa pun, pada akhirnya akan tahu api itu panas.

Jadi, orang yang tahu dan percaya “api itu panas” tidak akan repot-repot memaksakan pengetahuan dan kepercayaannya pada orang-orang lain. Karena... ya buat apa? Wong itu kebenaran yang bisa dibuktikan siapa pun, di mana pun, oleh siapa pun. Ngapain repot-repot meyakinkan?

Karenanya, sangat aneh jika kita memaksakan sesuatu yang kita anggap benar, lalu membenci orang yang tak mau percaya. Wong kebenaran kok dipaksakan? Kalau kita memang yakin sesuatu adalah benar, kita tidak perlu repot memaksa-maksa orang lain.

Kebenaran akan membuktikan dirinya sendiri. Orang yang suka memaksakan kebenaran pada orang lain, apalagi sampai mengancam-ancam orang lain yang tak mau percaya, sepertinya perlu bertanya pada diri sendiri, “Ini sebenarnya kebenaran... atau cuma sesuatu yang kuanggap benar?” 

Jadi, saya percaya bintang di langit sejumlah 226.831.787.650.491.335.176.498.812. Kalian mau percaya atau tidak, well... bodo amat!


Footnote:

Cara membaca angka yang saya tulis tadi: Dua ratus dua puluh enam septiliun, delapan ratus tiga puluh satu sekstiliun, tujuh ratus delapan puluh tujuh kuintiliun , enam ratus lima puluh kuadriliun, empat ratus sembilan puluh satu miliar, tiga ratus tiga puluh lima miliar, seratus tujuh puluh enam juta, empat ratus sembilan puluh delapan ribu, delapan ratus dua belas.

Sebenarnya, secara ilmiah, berapa jumlah bintang di langit? Ada sekitar 200 miliar triliun bintang di alam semesta. Atau, dengan kata lain, 200 seksatriliun. Jika ditulis lengkap, angkanya seperti ini: 200.000.000.000.000.000.000.000.000!

Related

Hoeda's Note 9101943921067439798

Posting Komentar

  1. soal membaca angka
    dulu aku pernah baca di buku apa (lupa)
    setelah triliun adalah biliun, cuma aku meragukannya, karena bi itu kan 2, sedang tri itu kan 3
    kok malah turun, terlalu aneh
    dan setelah ada internet, aku cek, ternyata emang kuadriliun (bukan biliun)

    soal memaksakan kebenaran, aku mendapat kisah dari kakak kelasku
    dia punya teman SMP, bermain dan bahkan saling nginep gantian di rumah mereka
    intinya teman yang kental, kalo dalam bahasa Surabaya, "konco plek"

    suatu saat dia menjumpai temannya ini memusuhinya, hanya gara2 2014 lalu, zaman Ahok
    kakak kelasku ini tipikal orang sepertiku, ga peduli dengan politik
    lah temannya ini punya anggapan, kalo ga dukung Ahok kayak dia, maka jadi musuhnya

    kakak kelasku dimusuhi dia, habis2an. kayak ga pernah terjadi hal2 baik sebelumnya, waktu dia SMP dulu.

    saat ketemu denganku, kakak kelasku ini sering kali mengulangi kisah ini. ya intinya dia menyayangkan sikap temannya ini. konco plek, kok rusak gara2 zaman pemilu 2014 lalu.

    sering kali memang "paksaan" terhadap "kebenaran" ini menyebalkan. dan makin membuat kita makin curiga, kenapa dia getol sekali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau aku memahami triliun sama biliun itu gini, John. Triliun itu bahasa Indonesia - dari juta, miliar, lalu triliun. Sementara biliun itu bahasa Inggris yang merujuk ke angka "seribu miliar".

      Emang menyedihkan sih kalau pertemanan rusak gara-gara politik/pemilu. Sayangnya hal itu bener-bener terjadi dan menimpa banyak orang. Bukan hanya sekarang, sebenarnya. Dulu, zaman Orde Baru, pas jumlah partai hanya ada tiga, hal seperti itu juga terjadi. Sampai kadang keluarga pecah gara-gara beda pilihan partai.

      Tapi ada yang bisa dibilang lebih parah itu. Jadi, di beberapa tempatku saat ini ada ustaz-ustaz yang suka berceramah rutin di masjid dan musala. Ceramahnya itu sebenarnya gak masalah. Yang jadi masalah adalah ustaz-ustaz itu kayak mengecam dan menyalah-nyalahkan siapa pun yang nggak ikut pengajiannya. Ustaz-ustaz itu kayak bertingkah seolah dia penguasa lokal gitu, jadi semua orang harus tunduk dan manut kepadanya, dan yang nggak manut seolah "sesat". Itu benar-benar meresahkan, karena memicu perpecahan di antara masyarakat. Akibatnya, jadi kayak ada perbedaan antara "kita" (yang ngikut si ustaz) dan "mereka" (yang nggak ngikut si ustaz).

      Hapus
  2. Bukannya yang sembilan angka terakhir (176.498.812) harusnya dibaca: seratus tujuh puluh enam juta empat ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus dua belas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mengingatkan. Angka di artikelnya sudah diralat.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item