Filsafat Hidup Seorang Pemulung

Ilustrasi/kumparan.com
Zaman masih hidup di jalanan dulu, saya mengenal seorang bocah sebaya yang suka mengorek-ngorek sampah di sekitar tempat saya mangkal. Kadang saya melihatnya membawa setumpuk kardus bekas, kadang pula dia terlihat membawa buntalan karung hasil memulung. Belakangan saya tahu kalau dia memang mencari duit dengan jadi pemulung. 

Kami sering ketemu sore hari, dan, karena seringnya ketemu, kami pun saling kenal. Dia bernama Badu. Waktu itu dia masih SMP, seperti saya, dan dia memulung sepulang sekolah sampai sekitar magrib. Menurut ceritanya, hasil memulung itu biasanya akan ditata sesampai di rumah, lalu besok siangnya—saat akan berangkat memulung—dia bawa hasil memulung kemarin ke pengepul. Dari situlah dia mendapat uang.

Setelah lulus SMP, Badu tidak melanjutkan sekolah, dan full bekerja sebagai pemulung. Dia berangkat dari rumah pagi hari, dan pulang sore hari. Sesampai rumah, dia keluarkan semua hasil memulungnya dari dalam karung, lalu ditata rapi, dikelompokkan sesuai jenis—misal kardus dipisahkan dengan plastik—dan besoknya siap diantar ke pengepul. Setelah itu ia mandi, dan menyambut malam untuk kemudian kembali berangkat memulung keesokan harinya.

Saya tahu rutinitas itu, karena sampai sekarang masih berteman dengannya, dan saya kadang dolan ke rumahnya. Sampai sekarang, Badu juga masih jadi pemulung. Kadang-kadang, saat hasil memulung lumayan banyak, proses penataannya butuh waktu lama, sampai habis magrib. Dan saya beberapa kali mendapati Badu sedang menata hasil memulungnya, ketika saya dolan menemuinya.

Saya pernah bertanya, apakah dia tidak tertarik pada pekerjaan lain? Jadi karyawan di pabrik, misalnya?

Badu menjelaskan, sebenarnya dia kepikiran untuk bekerja “seperti itu”—jadi karyawan tetap—biar penghasilan lebih terjamin, tapi, “Aku cuma punya ijazah SMP, sementara lowongan kerja sering kali mensyaratkan lulusan SMA atau malah perguruan tinggi.”

“Lagi pula,” dia menambahkan, “melamar kerja kadang bisa sangat merugikanku.”

Badu bercerita, suatu kali dia mendapati lowongan kerja di sebuah pabrik, dan persyaratannya minimal ijazah SMP. Jadi, Badu pun bikin surat lamaran, mengenakan pakaian terbaik, lalu datang ke tempat yang membuka lowongan. Sesampai di sana, dia mendapati banyak sekali pelamar lain yang lagi antre. Jadi, menurutnya, waktu itu para pelamar akan langsung “diwawancarai” oleh pihak pabrik, dan yang dianggap memenuhi syarat akan langsung dipekerjakan.

“Aku nunggu sampai setengah hari,” cerita Badu. 

Yang membuatnya risau sebenarnya bukan banyaknya antrean atau jumlah pesaing yang waktu itu sama-sama mencari kerja di sana. Yang membuatnya risau adalah dia harus membuang waktunya berjam-jam untuk sesuatu yang, menurutnya, “sia-sia”.

“Selama setengah hari aku duduk di sana,” ujar Badu, “dan selama itu aku memikirkan, seharusnya aku bisa keliling ke sana kemari, memulung di berbagai tempat. Sementara di sana, aku hanya duduk diam, memegangi map berisi surat lamaran. Waktuku terbuang sia-sia.”

Pada akhirnya, Badu tidak diterima bekerja di tempat yang ia lamar tadi. Jadi, ia pun kembali jadi pemulung, seperti biasa, dan sejak itu mengaku “trauma” dengan lamaran kerja. Karena, “Cuma buang-buang waktu, tidak ada manfaatnya.”

Berapa penghasilan Badu dari memulung? Berdasarkan pengakuannya, penghasilan dari memulung selama sehari sekitar Rp40 ribu. “Kadang bisa lebih, tapi seringnya ya sekitar empat puluh ribuan,” katanya.

Penghasilan itu ia pakai untuk makan, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama ibunya. Badu masih lajang, dan tinggal bersama ibu serta adiknya. Sementara ayahnya sudah meninggal sejak lama. 

“Asal sehat, sebenarnya tidak terlalu masalah,” ujarnya. “Tapi pas sakit, terus tidak bisa kerja (memulung), rasanya jadi sangat bingung. Mau berobat bingung, mau makan bingung, sementara uang tidak ada.”

Badu mungkin potret banyak orang lain yang menggantungkan pemasukan harian untuk hidup selama sehari. Jika bekerja, dia bisa hidup, meski kembang kempis. Dan jika tidak bekerja, dia akan kebingungan karena benar-benar tidak ada uang. Bagi Badu, dan orang-orang seperti dia, pepatah “time is money”—atau waktu adalah uang—itu benar-benar nyata. Karena Badu benar-benar harus menggunakan waktunya untuk bekerja, karena, jika tidak melakukannya, dia “tidak bisa hidup”.

Karena kenyataan itulah, Badu hanya menghabiskan hidupnya untuk bekerja. Tiap hari, tidak ada hari libur, tidak ada cuti, tidak ada tanggal merah, tidak ada waktu refresing. Bahkan ketika diajak tetangganya untuk jalan-jalan ke luar kota, dia menolak. Bahkan meski dibayari. Masalahnya sederhana; jika dia tidak bekerja, hidup keluarganya jadi taruhan. 

Setelah seharian bekerja, berkeliling ke sana kemari memulung apa pun yang bisa dijual, Badu mengaku sudah capek saat malam hari. Karenanya, dia juga tidak minat jalan-jalan kemana pun. Dia harus istirahat dengan cukup, agar besok bisa bekerja lagi, memulung lagi. Kalau saya dolan ke rumahnya, kami hanya duduk-duduk, ngobrol, tidak kemana-mana.

Suatu malam, saat kami ngobrol, Badu mengatakan bahwa dia menyadari kehidupannya berat—harus kerja saban hari, kehujanan atau kepanasan, tanpa hari libur, dan tidak tahu akan sampai kapan. Tapi dia berusaha untuk tabah menjalani. Baginya, dengan cara pikir yang sederhana, “Hidup memang harus dijalani.”

Yang membuat Badu sakit hati adalah ketika mendengar orang sok tahu, misalnya mengatakan, “Hidup kok isinya cuma kerja!”, atau, “Kerja tidak usah ngoyo!”

Menurut Badu, “Kalau saja bisa, sebenarnya aku cuma ingin leyeh-leyeh, tidak ingin kerja. Kalaupun kerja, aku ingin kerja beberapa jam saja, lalu mengisi waktu luang untuk kegiatan lain. Kalau saja bisa, aku ingin libur seminggu sekali, dua kali, atau bahkan tiga kali. Kalau saja bisa, aku ingin jalan-jalan ke swalayan, atau menikmati refresing, seperti umumnya orang-orang. Masalahnya, aku tidak bisa seperti itu!”

Sesaat kemudian, dia melanjutkan, “Aku kerja setiap hari, tanpa pernah libur, karena kondisi hidup menuntutku begitu. Seharian aku kerja, memulung ke sana kemari, capek luar biasa, dan malam hari hanya ingin istirahat, agar besok bisa kembali kerja. Orang kadang ngomong seenaknya, tanpa mikir omongannya bisa menyakiti perasaan orang lain.”

Dulu, saya pernah menawari Badu untuk membaca buku-buku yang saya anggap bagus, misalnya buku inspirasional yang dapat membantunya berpikir lebih luas. Saya pinjamkan buku yang saya pikir cocok untuknya, dan berharap dia menyukainya. “Baca saja kalau pas selo,” kata saya waktu itu, “tapi, kalau bisa, bacalah sampai selesai.”

Sampai sangat lama Badu membaca buku itu, dan baru selesai sekitar enam bulan. Karena dia memang membacanya kalau pas selo dan ketika pikirannya segar. Setelah ia selesai membaca buku itu, saya bertanya bagaimana pendapatnya.

Badu mengatakan, sambil menahan senyum, “Ya, isinya bagus, sih. Penuh inspirasi. Tapi sejujurnya aku tidak butuh inspirasi, karena yang kubutuhkan adalah uang!”

Di lain waktu, Badu bercerita bahwa tetangganya pernah menasihati dia mengenai kehidupan, dan macam-macam hal yang terdengar bijaksana. Badu mengatakan, “Nasihatnya baik, tentu saja. Tapi sejujurnya aku tidak butuh nasihat ndakik-ndakik, karena yang kubutuhkan adalah uang!”

Inilah realitas pahit yang dialami banyak orang di mana-mana. Yang dikatakan Badu mungkin terdengar blak-blakan, tapi itulah realitas yang sebenarnya terjadi. Ketika orang hanya punya dua pilihan—bekerja atau tidak bisa makan—mereka tidak butuh inspirasi, motivasi, kata-kata mutiara, atau pun nasihat macam-macam. Yang pertama-tama mereka butuhkan adalah uang!

Orang lapar tidak butuh inspirasi, tidak butuh nasihat atau kata-kata mutiara. Yang dibutuhkan orang lapar adalah makanan! Terkait Badu dan orang-orang semacamnya, mereka baru bisa makan kalau bekerja. Karenanya wajar mereka terus bekerja, setiap hari, tanpa hari libur. Sebenarnya, mereka melakukan itu bukan karena memang suka, tapi karena terpaksa! Karena jika tidak bekerja, mereka tidak bisa makan.

Tentu saja kita bisa mengatakan, “Tidak perlu khawatir soal rezeki, karena rezeki sudah ada yang mengatur. Kerja secukupnya saja, tidak usah ngoyo!” 

Masalahnya, jika mereka mengikuti nasihat semacam itu, mereka seperti mempertaruhkan hidup. Karena tidak ada kepastian sama sekali. 

Andai mereka mencoba tidak bekerja, lalu seharian tidak ada rezeki sama sekali, mereka mau makan apa? Beda persoalan kalau, misalnya, kita membantu orang-orang semacam itu secara langsung, dengan memberikan sejumlah uang yang cukup untuk makan setiap hari, agar mereka bisa sesekali libur kerja. Kalau sekadar nasihat, mereka tidak butuh, karena, seperti yang dikatakan Badu, “Aku hanya butuh uang!”

Memang hebat menjadi idealis, memang mudah meminta orang lain agar membaca buku, dan memang gampang menyemburkan nasihat ndakik-ndakik seolah nasihat itu datang dari langit. Tapi jika kita berhadapan dengan orang-orang seperti Badu, mereka tidak butuh semua itu. Karena pertama-tama yang mereka butuhkan adalah uang, agar hari ini bisa makan. 

Related

Hoeda's Note 8821332497607083634

Posting Komentar

  1. orang2 tipikal Badu harus ditolongnya langsung dikasih uang, atau minimal kerjaan yang lebih besar gajinya dari dia memulung.

    kemudian, baru diajak bicara.

    hanya saja menolong seperti Badu ini, butuh modal dan kesabaran yang cukup banyak. misalkan ingin dia jadi penjual gorengan; kita harus modalin dia dari awal dan ajari caranya. sayangnya tidak cukup banyak orang yang mau memodali dan sabar membimbing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, John. Orang-orang kayak gitu gak bisa sekadar dinasihati, diceramahi, atau dikasih motivasi. Karena kebutuhan dasarnya belum terpenuhi. Nasihat atau motivasi itu baru berfungsi kalau kebutuhan dasar seseorang sudah terpenuhi. Orang lapar ya butuh makan, butuk nasihat. Orang sakit ya butuh obat, bukan motivasi. Sayangnya, seperti yang kamu bilang, membantu orang seperti Badu gak hanya butuh modal, tapi juga kesadaran dan kesabaran.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item