Apakah “Uang Balik” Benar-Benar Ada?

Apakah “Uang Balik” Benar-Benar Ada?
Ilustrasi/istimewa
Uang balik adalah uang yang akan kembali pada pemiliknya, setelah dibelanjakan. Setidaknya, itulah penjelasan yang muncul pada iklan-iklan uang balik. Iklan-iklan itu mengklaim bahwa orang yang memiliki uang balik tidak akan pernah kehabisan uang, karena uang balik yang digunakannya untuk membeli apa pun akan terus kembali kepadanya, dan bisa terus dibelanjakan.

Pertanyaannya, apakah uang balik benar-benar ada?

Itu pertanyaan yang sulit dijawab dengan literatur ilmiah—setidaknya, saya belum pernah menemukan artikel yang secara ilmiah menjelaskan keberadaan atau ketidakberadaan uang balik. Karenanya, saya akan menggunakan pengalaman pribadi untuk menjawabnya.

Pada awal 2000-an, seiring booming media massa cetak di Indonesia, iklan-iklan klenik bertebaran di hampir semua media yang terbit saat itu. Dari iklan paranormal sampai iklan uang balik. Iklan-iklan itu menawarkan selembar uang balik yang bisa diperoleh dengan harga tertentu. Misalnya, uang balik senilai Rp5.000 harganya Rp100.000, uang balik Rp10.000 harganya Rp200.000, dan seterusnya.

Iklan-iklan itu mengklaim bahwa uang balik yang mereka tawarkan bisa kembali ke pemiliknya, setelah dibelanjakan. Bagaimana hal itu bisa terjadi, dan bagaimana proses kembalinya uang tersebut pada si pemilik, jawabannya tentu misteri. Namanya juga iklan klenik.

Terlepas iklan itu masuk akal atau tidak, nyatanya iklan uang balik ada di banyak media massa cetak di masa itu—khususnya media-media yang membahas klenik—bahkan iklan-iklan itu muncul secara rutin sampai beberapa tahun. Saya hampir yakin, ada banyak orang yang penasaran dan tertarik dengan iklan-iklan tersebut.

Sejak awal melihat iklan-iklan itu, terus terang saya pun penasaran. Siapa yang tidak penasaran—sekaligus tertarik—dengan tawaran uang yang bisa kembali pada kita setelah dibelanjakan? Kita beli selembar uang balik senilai Rp50.000, misalnya, dan uang itu akan terus kembali pada kita setelah dibelanjakan. Meski harga selembarnya relatif mahal, kita tentu akan menganggapnya sebagai “investasi” yang menguntungkan.

Suatu hari, didorong penasaran, saya memutuskan untuk membeli uang balik yang diiklankan di banyak media itu. Saya beli selembar uang balik senilai Rp20.000, dengan harga Rp250.000. Di masa itu, pengiriman uang dilakukan lewat wesel pos, dan alamat si penerima—sebagaimana tercantum dalam iklan—ada di Batam.

Sejak awal, sebenarnya saya sudah skeptis. Saya pikir, kalau seseorang benar-benar memiliki uang balik—yang bisa kembali ke pemiliknya setelah dibelanjakan—kenapa dia harus repot-repot menjualnya, bahkan sampai memasang iklan di mana-mana? Bukankah lebih enak kalau dia gunakan sendiri tanpa ribut-ribut?

Jadi, ketika mengirim uang waktu itu, saya tidak terlalu berharap. Kalau pun ternyata uang balik benar-benar ada, dan bisa saya buktikan, saya akan menganggapnya keajaiban. Jika tidak, saya pun sudah siap kehilangan uang.

Satu minggu setelah mengirimkan uang tadi, saya menunggu kiriman uang balik yang dijanjikan dalam iklan. Tapi tidak pernah datang. Padahal, menurut iklannya, uang balik yang dipesan akan dikirim secepatnya menggunakan pos kilat khusus secara aman, lengkap dengan panduan menggunakannya.

Sampai dua minggu saya menunggu, kiriman uang balik yang bikin penasaran itu tidak juga datang. Lalu tiga minggu. Lalu sebulan.

Pada iklan yang saya baca, tercantum nomor ponsel yang bisa dihubungi. Karenanya, setelah sebulan dan saya belum juga menerima apa pun, saya mencoba menghubungi nomor ponsel yang tertera.

Telepon saya diterima seorang laki-laki bersuara berat, dan saya menjelaskan bahwa saya telah mengirim uang untuk membeli uang balik, dan bla-bla-bla. Ia merespons dengan nada positif, tapi nyatanya uang balik yang dijanjikan itu tidak pernah datang. Bahkan sampai sekarang.

Jadi, apakah uang balik benar-benar ada? Saya tidak tahu. Karena, bahkan ketika saya sudah mencoba membelinya—dan mengirimkan sejumlah uang untuk pembayarannya—uang balik yang dijanjikan itu tidak pernah ada.

Bisa jadi, ada orang-orang lain yang juga punya pengalaman seperti saya. Mereka penasaran dengan uang balik, menganggapnya “investasi yang bagus”, lalu mengirim uang untuk membeli, dan hanya mendapat angan-angan kosong.

Dalam kasus semacam ini, korban—maksudnya si pembeli—biasanya memilih pasrah kehilangan uang, daripada repot-repot melaporkannya ke kepolisian. Karenanya, urusan uang balik dan semacamnya biasanya hanya tersimpan sebagai pengalaman pribadi.

Itu pengalaman pribadi saya, terkait uang balik. Mungkin ada pembaca yang punya pengalaman serupa, atau bisa pula berbeda.

So, ada yang mau menambahkan?

Related

Umum 7772513932970891384

Posting Komentar

  1. Good....bisa dijadikan contoh tuh....tadinya saya mau ikutan beli,,,yach sekarang jadi enggan...takut ketipu juga

    BalasHapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item