Anak-anak Perlu Memahami Privasi, Begitu Pula Orang Tua

Ilustrasi/telset.id
Salah satu hal penting dalam hidup manusia, namun tidak diajarkan di sekolah, adalah pentingnya privasi dan batasan (boundaries). Karenanya, jangankan anak-anak, bahkan orang tua pun banyak yang tidak memahami pentingnya hal itu. Padahal, memahami privasi dan batasan akan memungkinkan kita untuk lebih menghargai diri sendiri dan orang lain.

Dalam contoh paling mudah, sekaligus penting, anak-anak perlu diberi tahu batasan sentuhan dengan orang lain, dan pengetahuan soal itu akan membantu menghindarkan anak dari kemungkinan pelecehan seksual, atau semacamnya. Misal, orang tua bisa memberi tahu anaknya, bagian tubuh mana yang boleh disentuh orang lain dan bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang lain.

Itu sebenarnya pengetahuan penting, tapi berapa banyak orang tua yang mengajarkan hal tersebut pada anak-anaknya? Banyak anak yang tidak menyadari ketika dia menjadi korban pelecehan seksual, misalnya, karena memang tidak tahu. Atau, sebaliknya, banyak anak yang melecehkan anak lain, juga karena tidak tahu. Karena orang tua maupun gurunya tidak pernah mengajari hal penting terkait soal itu.

Jangankan mengajari hal-hal terkait privasi tubuh, yang mungkin riskan, bahkan untuk hal-hal yang jelas melanggar privasi pun, banyak orang tua yang tidak tahu.

Dulu, zaman masih SMA, saya kadang berkorespondensi dengan teman-teman dari luar kota, yang saya kenal di majalah (pada zaman itu, majalah-majalah punya rubrik perkenalan dengan sesama pembaca, dan biasa disebut “sahabat pena”). Sarana korespondensi waktu itu adalah surat tertulis, yang dikirim lewat pos. Karenanya, saya kadang mengirim surat ke seseorang, kadang pula mendapat surat dari orang lain.

Ketika ada surat yang datang ke rumah, biasanya saya masih ada di sekolah. Sepulang sekolah, orang tua saya ngasih tahu ada surat yang datang. Dan saya mendapati surat itu sudah terbuka, bagian pinggirnya sudah disobek, dan artinya orang tua atau adik saya telah membaca surat tersebut. Padahal di sampul surat itu dengan jelas tertera nama saya sebagai penerima. Tapi orang tua atau adik saya membuka surat itu, membaca isinya, bahkan sebelum saya menyentuhnya.

Mengapa mereka begitu? Karena mereka tidak tahu konsep privasi!

Oh, saya tidak bermaksud menyalahkan orang tua atau adik saya, dan sejujurnya saya memaklumi. Orang tua saya, sebagaimana umumnya orang tua lain, mungkin tidak pernah diajari pentingnya privasi, dan pentingnya menghargai privasi orang lain, khususnya privasi anaknya sendiri. Karena orang tua saya tidak tahu konsep privasi, mereka juga tidak bisa mendidik anaknya untuk menghormati privasi. Dalam contoh surat tadi, orang tua dan adik saya tidak memahami bahwa isi surat itu adalah privasi saya, dan membaca surat itu tanpa izin artinya melanggar privasi saya.

Karenanya, saya pun bilang pada mereka, bahwa surat itu ditujukan untuk saya, sebagaimana tertulis di amplopnya. Karenanya pula, saya meminta mereka untuk tidak membuka atau membaca isinya, sebelum saya membacanya. Tentu saja, mereka boleh ikut membaca, tapi biarlah saya yang membuka amplopnya, dan biarlah saya membacanya terlebih dulu. Ini sederhana, tapi penting, dan dengan cara inilah kita belajar menghargai privasi orang lain.

Generasi orang tua kita mungkin tidak memahami konsep privasi, karena memang tidak pernah diperkenalkan dengan konsep itu. Jangankan orang tua kita, bahkan kita pun belum tentu pernah diajari konsep privasi. Makanya di awal catatan ini, saya menyebut bahwa salah satu hal penting dalam hidup manusia namun tidak diajarkan di sekolah adalah memahami privasi.

Ada banyak orang tua, misalnya, yang suka “menggeledah” kamar anaknya, ketika si anak sedang di luar rumah. Mereka melakukan hal itu, tanpa menyadari bahwa itu sebenarnya melanggar privasi anak. 

Kebanyakan orang tua yang melakukan hal itu—menggeledah kamar anaknya ketika si anak sedang di luar rumah—biasanya berdalih bahwa tujuannya baik, ingin memastikan anaknya tidak menyimpan hal-hal terlarang, misalnya. Tetapi, fakta bahwa orang tua sampai melakukan hal semacam itu, artinya ada yang tidak beres dalam hubungannya dengan si anak.

Maksud saya begini. Jika orang tua dan anak bisa berkomunikasi dengan baik serta sehat, dan mereka bisa saling percaya satu sama lain, orang tua tidak perlu sampai melakukan penggeledahan pada kamar anaknya sendiri. Fakta bahwa orang tua sampai menggeledah kamar anaknya ketika si anak sedang di luar rumah, artinya orang tua tidak percaya pada anaknya sendiri. Dan jika orang tua sampai tidak percaya pada anaknya sendiri, dia perlu bertanya pada diri sendiri, “Kenapa aku sampai tidak percaya pada anakku sendiri? Dan mungkinkah anakku juga sebenarnya tidak percaya kepadaku?”

Banyak anak yang merasa tidak aman tinggal di rumah, karena ketidakpercayaan pada orang tuanya sendiri. Padahal, rumah seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi anak, dan anak akan merasa aman berada di rumah jika dia percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Karenanya, kalau kebetulan kita sudah punya anak, dan anak kita tampaknya tidak betah berada di rumah, coba sesekali introspeksi. Siapa tahu anak tidak betah di rumah, justru karena merasa tidak nyaman dengan orang tuanya sendiri?

Anak memang wajib menghormati orang tua, tapi orang tua juga harus melakukan hal sama; menghormati anak. Jika kedua pihak saling menghormati, hubungan bisa berlangsung secara sehat. Ketika hubungan anak dan orang tua benar-benar sehat, mereka bisa saling percaya. Jika anak benar-benar percaya pada orang tua, anak akan terbuka pada orang tuanya, sehingga orang tua akan tahu dan benar-benar mengenal anaknya sendiri. Dan jika orang tua benar-benar mengenal anaknya sendiri, orang tua tidak akan merasa perlu menggeledah kamar anaknya, ketika si anak sedang pergi.

Jangankan sampai menggeledah, orang tua yang menghormati privasi anak bahkan merasa perlu mengetuk pintu kamar anaknya ketika membutuhkan sesuatu dengan si anak, dan bukan asal menerobos kamar anak seenaknya. Mengetuk pintu kamar anak adalah hal yang mungkin sederhana, tapi menunjukkan bahwa orang tua menghargai privasi anak.

Anak-anak belajar segala sesuatu pertama kali di rumah, melalui orang tuanya. Sebelum dia kenal lingkungan sekitar, sebelum dia belajar di sekolah, orang tua menjadi gurunya yang pertama, dan rumah adalah sekolahnya yang pertama. 

Dan “pendidikan” dari orang tua di rumah akan terus berlangsung sampai si anak tumbuh besar dan dewasa, sampai kemudian si anak meninggalkan rumah—entah karena kuliah, bekerja di luar kota, atau karena menikah dan membangun rumah tangga sendiri. Karenanya, menjadi orang tua bukan sekadar melahirkan anak-anak, tapi juga memastikan anak-anak mendapat asuhan serta didikan yang benar.

Anak wajib berbakti pada orang tua—itu benar. Tapi orang tua juga wajib membesarkan anak dengan welas asih, dan bukan dengan egois. Anak wajib menghormati orang tua—tentu saja. Tapi orang tua juga punya kewajiban yang sama; menghormati anak. 

Hubungan antara orang tua dan anak mestinya bukan hubungan yang timpang, tapi hubungan yang adil dan saling menghormati. Dan karena anak sering kali jadi cerminan orang tua, maka cara terbaik untuk melihat diri sendiri adalah dengan melihat anak-anak yang dimiliki. Sering kali, anak adalah cerminan dari cara didikan orang tuanya. 

Related

Hoeda's Note 9073028134278322514

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item