Monster yang Dilahirkan Ketidakadilan Hukum

Ilustrasi/highdefdigest.com
“Betapa sesat dirimu! Aku mengajukan beberapa omong kosong preseden hukum, dan kau langsung menerkamnya! Kau membiarkan psikopat dan pembunuh kembali ke jalanan. Kau sibuk menerapkan hukum seperti alur perakitan. Kau tahu seperti apa keadilan? Ke mana perginya benar dan salah? Ada apa dengan pengadilan? Apa pun yang menimpa masyarakat, ke mana keadilan?" —Clyde Shelton, dalam Law Abiding Citizen

Law Abiding Citizen adalah film yang memotret rusaknya sistem hukum, ketika cara pragmatis digunakan para ahli hukum demi memenangkan pengadilan, ketika hakim dan jaksa bersepakat dengan terdakwa agar tak kehilangan muka, ketika para bajingan keliru memilih korban, ketika korban ketidakadilan hukum menuntut balas dengan cara tak terbayangkan.

Clyde Alexander Shelton adalah warga Amerika yang taat hukum, seorang suami, dan ayah yang menyayangi putrinya. Dari luar, ia seperti lelaki biasa yang berprofesi sebagai insinyur. Dia memiliki paten untuk 20 temuannya, memiliki uang dan kekayaan untuk menikmati kehidupan layak, sampai suatu hari insiden tak terduga mengubah hidupnya.

Hari itu dia sedang bercengkerama dengan putrinya yang masih kecil, sementara istrinya sedang menyiapkan masakan. Tiba-tiba, pintu rumah diketuk keras. Mengira ada tamu, Clyde Shelton beranjak membukakan pintu. Begitu pintu terbuka, seseorang menghantamkan pentungan, dan dia terjatuh.

Dua bajingan—Clarence Darby dan Rupert Ames—masuk ke dalam rumah. Clyde Shelton, yang belum sempat bangun dari jatuhnya, segera dilumpuhkan. Kedua kaki dan tangannya diikat, mulutnya dilakban. Istri Shelton, yang mendengar ribut-ribut itu, segera muncul dari dapur, dan berteriak. Kehadiran istri Shelton membuat Clarence Darby bergairah. Ia mendekati istri Shelton, menusuk perutnya, kemudian memperkosanya di depan Shelton.

Setelah memperkosa dan membunuh istri Shelton, Clarence Darby dan Rupert Ames mengambil barang-barang berharga di rumah, sebagaimana tujuan mereka semula. Tapi Clarence Darby belum puas. Sebelum pergi, ia membawa putri Shelton yang masih tampak shock menyaksikan kejadian itu. Ia memperkosa si gadis kecil, dan membunuhnya.

Dalam waktu singkat, kedua bajingan itu ditangkap. Kasus itu ditangani jaksa penuntut, Nick Rice. Dalam penyelidikan, Rice kesulitan memperoleh bukti yang kuat untuk menjerat kedua pelaku. Semua bukti yang diidentifikasi dari kedua pelaku tidak cukup konklusif untuk bisa menjatuhkan hukuman mati, sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Hukum Amerika. Maka Nick Rice pun menggunakan cara yang selama ini biasa ia lakukan ketika menuntut kejahatan di pengadilan. Ia memisah berkas kedua terdakwa untuk mendapatkan saksi memberatkan.

Clarence Darby dan Rupert Ames disidangkan secara terpisah. Dalam kenyataan, Clarence Darby adalah pelaku utama kejahatan; ia yang membunuh dan memperkosa anak serta istri Clyde Shelton, serta otak perampokan. Sementara Rupert Ames hanya medepleger (istilah hukum untuk menyebut “turut serta”). Tetapi, ketika proses pemberkasan, Clarence Darby bersedia menjadi saksi memberatkan untuk Rupert Ames. Dalam dunia hukum, praktik semacam itu disebut “saksi mahkota”.

Jika dua orang ditangkap karena melakukan pembunuhan, tapi pihak pengadilan tidak cukup memiliki bukti konklusif bahwa mereka bersalah melakukan kejahatan tersebut, dua orang itu akan disidang secara terpisah, dan mereka akan diminta untuk bersaksi bahwa temannyalah yang melakukan semua kejahatan. Orang yang mau bersaksi memberatkan temannya disebut saksi mahkota.

Praktik itu kemudian diikuti plea bargain, yaitu keringanan hukuman bagi saksi mahkota, karena telah “bekerja sama” dengan pengadilan. Praktik semacam itu sangat dikenal dalam sistem hukum kriminalitas Amerika Serikat. Praktik seperti itu sengaja digunakan untuk mempercepat proses hukum, menyelamatkan muka hakim dan jaksa, serta menunjukkan kepada masyarakat bahwa pengadilan telah menegakkan kebenaran. 

Ketika disidangkan, Clarence Darby bersedia memberikan penyaksian bahwa Rupert Ames yang merencanakan semua kejahatan, bahwa Rupert Ames pula yang membunuh dan memperkosa istri serta anak Clyde Shelton. Maka hakim di pengadilan pun menjatuhkan vonis; Clarence Darby hanya dihukum ringan, sementara Rupert Ames dihukum mati. Bagi pengadilan, keadilan telah ditegakkan. Tapi bagi Clyde Shelton, sang korban kejahatan, itu hanya pengadilan sandiwara.

Mendapati vonis yang sangat tidak adil, Clyde Shelton kecewa. Ia menyatakan kepada Nick Rice, bahwa dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri semua kejahatan itu. Bahwa Clarence Darby telah membunuh dan memperkosa istrinya. Kenapa keparat itu tidak dihukum mati seperti temannya? Ia juga sebelumnya telah mengingatkan Nick Rice agar tidak melakukan bargaining dengan terdakwa.

Tetapi, sebagai jaksa, Nick Rice hanya menjawab, “Beginilah sistem hukum dan peradilan kita bekerja.”

Dalam sistem hukum, kata Nick Rice, yang penting bukan apa yang kita ketahui tentang kejahatan itu, melainkan apa yang bisa dibuktikan di pengadilan. Ia menekankan pada Clyde Shelton, “This is not about what you know, this is what you can prove in court.”

Nick Rice berdalih, jika dia tidak melakukan bargaining dengan terdakwa, keduanya justru akan divonis bebas, karena kurangnya bukti. Bagaimana pun, dalam kasus ini, Nick Rice punya kepentingan; ia harus menyelamatkan mukanya sebagai jaksa, menyelamatkan citra pengadilan, agar masyarakat tetap percaya pada sistem hukum Amerika.

Jadi begitulah. Segalanya telah dianggap usai. Pengadilan telah menjalankan perannya dengan baik. Polisi telah menangkap si pembunuh, jaksa telah menuntut, hakim telah menjatuhkan vonis, dan para penjahat telah dihukum—keadilan telah ditegakkan. Warga yang taat hukum akan bersyukur.

Tapi tidak bagi Clyde Shelton. Ia menganggap dirinya telah jadi korban ketidakadilan akibat bobroknya sistem hukum, akibat rusaknya praktik pengadilan, akibat pejabat hukum hanya mau menyelamatkan mukanya demi citra agung di hadapan masyarakat. Ia menganggap semua yang terjadi di pengadilan dan semua keputusannya cuma sandiwara, dan ia tak puas, kecewa, terluka.

Dan ia merencanakan pembalasan dendam.

Bukan hanya kepada dua bajingan yang telah menghancurkan hidupnya, tetapi juga kepada bobroknya sistem hukum Amerika.

🔱🔱🔱

Dari luar, Clyde Alexander Shelton adalah warga Amerika biasa, yang berprofesi sebagai insinyur. Tetapi, tanpa diketahui siapa pun—bahkan oleh keluarganya sendiri—ia seorang ahli strategi genius yang menjadi “kontraktor” bagi badan intelijen negaranya.

Secara sederhana, kerja badan intelijen bisa dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama adalah para petugas lapangan; orang-orang yang melaksanakan pekerjaan langsung, termasuk pembunuhan, dan merupakan tangan terakhir dari sistem intelijen. 

Bagian kedua adalah para “pekerja kantoran”; mereka yang tiap hari berangkat kerja dan mengerjakan tugas-tugas administrasi ala orang kantor, yang memastikan semua hal dikerjakan dengan benar. 

Bagian ketiga adalah para penghubung; orang-orang yang memperantarai petugas kantor dan pekerja lapangan. Bagian ketiga ini diperlukan, sebagai mata rantai yang bisa memutus hubungan antara petugas lapangan dengan pihak yang menugaskannya—jika keadaan mendesak; misal si petugas lapangan tertangkap di negara lain, dan pihak pemerintah yang mengirimnya harus menyangkal. 

Yang jarang diketahui adalah bagian keempat, yaitu para “pekerja lepas” (biasa disebut “kontraktor”), yang bekerja memikirkan berbagai teknik tingkat tinggi demi kepentingan intelijen. Orang-orang tak dikenal itulah yang memikirkan cara-cara rumit untuk menjalankan praktik intelijen, dari cara menyusupkan seseorang ke suatu negara dengan aman, sampai memikirkan cara membunuh bajingan internasional dengan amat tersamar.

Karena pekerjaannya relatif berbahaya, orang-orang itu menutupi pekerjaan aslinya, dan melakukan kamuflase dengan menjalani profesi “umum” yang tampak biasa—menjadi insinyur, dosen, jurnalis, ilmuwan, dan lain-lain. Apa pun wujud luarnya, mereka aset mahal yang dihargai sangat besar. Dan otak cemerlang yang ditunjang uang tak terbatas adalah kombinasi paling berbahaya di dunia.

Clyde Shelton adalah orang yang menjalani pekerjaan semacam itu, dan ia menutupi pekerjaannya dengan menampilkan diri sebagai insinyur. Dan sekarang dua bajingan tolol mencari masalah dengan orang berbahaya semacam itu. Bajingan-bajingan itu akan membayar perbuatannya... mereka akan membayar sangat mahal.

🔱🔱🔱

Sepuluh tahun kemudian, pada hari yang telah ditetapkan, Rupert Ames dibawa ke tempat ia akan menjalani hukuman mati dengan suntikan. Ada tiga cairan kimia yang disuntikkan untuk terdakwa hukuman mati, dan campuran tiga cairan kimia itu ditujukan agar proses kematian tidak menyakitkan. Tapi Clyde Shelton telah melakukan sabotase tanpa diketahui siapa pun, dan tiga cairan kimia itu telah ditukar zat kimia berbahaya, yang akan membuat si terdakwa kesakitan luar biasa.

Disaksikan para pejabat pengadilan, Rupert Ames disuntik mati. Bukan tanpa rasa sakit, tapi dengan sakit yang sangat mengerikan—sebegitu menyakitkan hingga semua orang bergidik menyaksikannya, hingga urat-urat di tubuh Rupert Ames nyaris keluar dari tempatnya.

Lalu bagaimana dengan Clarence Darby? Sementara temannya dihukum mati, Clarence Darby bisa hidup bebas—ia bahkan tertawa saat menyaksikan berita kematian temannya di televisi. Tetapi bajingan pembunuh dan pemerkosa itu akhirnya menjalani hukuman yang jauh lebih mengerikan dari yang diterima temannya. Jika Rupert Ames “cuma” mendapat suntikan maut yang menyakitkan, Clarence Darby dimutilasi hidup-hidup hingga menjadi 25 bagian.

Dengan rancangan jebakan yang telah dipikirkan bertahun-tahun, Clyde Shelton menggiring Clarence Darby untuk masuk perangkapnya. Darby terjebak. Ia dibawa ke tempat kosong milik Shelton, diikat di sebuah papan, lalu tubuhnya diiris sepotong demi sepotong. “Kau tahu,” ujar Shelton pada Darby yang ketakutan, “aku pernah merasakan seperti apa rasanya tak berdaya, saat aku menyaksikanmu membantai keluargaku.”

Lalu hukuman mengerikan itu pun dimulai. Menggunakan gergaji pemotong tulang, Shelton memutilasi tubuh Darby, sepotong demi sepotong. Darby merasakan semua siksaan itu, tak bisa bergerak, tak bisa berteriak, dan bagian-bagian tubuhnya terus dicincang sekerat demi sekerat, hingga akhirnya mati kehabisan darah.

Shelton membunuh Darby, tapi ia tidak meninggalkan jejak dan tidak ada saksi—sesuatu yang tak bisa digunakan pengadilan Amerika untuk menuntutnya.

Karena lokasi pembunuhan itu miliknya, Clyde Shelton ditangkap. Tapi pengadilan Amerika tak berdaya, karena tidak ada saksi dan barang bukti yang bisa digunakan untuk menjerat Shelton telah melakukan pembunuhan. Satu-satunya cara untuk bisa memvonis Shelton hanya jika ada pengakuan dari Shelton sendiri. Kepada Nick Rice, yang masih menjabat sebagai jaksa, Clyde Shelton berjanji akan memberi pengakuan bahwa dia telah membunuh Clarence Darby... tapi dengan beberapa syarat.

Dan permainan sesungguhnya dimulai.

Sekaranglah saatnya Clyde Shelton akan membalas dendam terhadap pengadilan Amerika yang busuk, yang telah menghancurkan hidupnya dengan ketidakadilan, agar masyarakat menyadari betapa bobroknya sistem yang telah mereka percaya mampu memberi keadilan. Semua yang terlibat dalam pengadilan busuk itu harus mati, dan ia akan membunuh mereka... semuanya.

Shelton dipenjara, sendirian, di tempat pengasingan. Dan dari dalam penjara itulah, dia melancarkan pembunuhan orang-orang yang dulu terlibat dalam pengadilan busuk atas kejahatan yang menimpa keluarganya, satu per satu—dengan teknik pembunuhan yang telah dipikirkannya bertahun-tahun, pembunuhan yang dijalankan otak seorang genius, pembunuhan yang tak pernah terbayangkan siapa pun.

🔱🔱🔱

Ketika pengadilan tak bisa lagi memberikan keadilan, maka keadilan akan menjelma iblis mengerikan.

Related

Hoeda's Note 1671511640827385575

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item