Malam Ngelangut

Ilustrasi/wallpaperbetter.com
Awal Mei kemarin, saya berulang tahun, dan menikmati moment itu bersama Apri. Dia teman kerja di pabrik dulu. Mengobrol di rumahnya sampai larut malam, menikmati kesunyian tempat tinggalnya yang benar-benar ngelangut (sunyi menyayat, tanpa ada suara apapun yang terdengar).

Bertahun lalu, saat masih kerja di tempat yang sama, Apri dan saya sering makan siang bareng di warung yang tak jauh dari pabrik, ketika jam istirahat. Biasanya, setelah itu kami ngobrol dan udud sambil menunggu jam masuk kerja usai istirahat. 

Tempat kerja kami waktu itu bukan pabrik besar, tapi skala rumahan, jadi pekerjanya tidak terlalu banyak. Apri dan saya waktu itu bekerja sebagai tukang gambar batik, lalu ada beberapa pria lain yang bekerja sebagai pencuci kain batik, dan lain-lain. Selain pria, ada pula pekerja-pekerja wanita yang jadi pembatik.

Sekitar setahun bekerja bersama Apri di sana, sampai kemudian saya memutuskan keluar, karena ingin mengejar cita-cita. Apri masih bekerja di sana. Tapi sejak itu kami jarang ketemu. 

Bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada akhir Maret kemarin, setelah kami lama tak pernah ketemu, saya tanpa sengaja melihat Apri di tempat kurir ekspedisi. Semula, saya kira dia mau mengirim barang, seperti saya. Tapi ternyata dia bekerja di sana. Kami pun bercakap-cakap, dan Apri menceritakan kalau dia kadang-kadang dapat pekerjaan di tempat ekspedisi, kalau kebetulan ada banyak barang masuk dan kekurangan pekerja. “Biasanya aku dipanggil untuk membantu pekerja di sini,” ujarnya.

Dari pertemuan itu, kami pun menjalin pertemanan lama. Sejak itu kami kembali sering bertemu, dan saya suka dolan ke rumahnya, yang memiliki suasana sunyi.

Apri tinggal di pinggiran kota, dan rute menuju rumahnya adalah jalan sepanjang 600-an meter yang sepi. Jalan itu hanya pas dilalui satu mobil, sementara kanan kirinya sawah dan perkebunan. Karena bukan kompleks penduduk, di sekitar jalan itu bisa dibilang tidak ada lampu penerang. Kalau malam hari, jalan itu benar-benar gelap, dan orang hanya bisa mengandalkan lampu kendaraannya. Jadi, kalau dolan ke rumah Apri malam hari, saya merasa sedang uji nyali.

Tapi saya suka dolan ke rumah Apri, karena suasana di tempat tinggalnya benar-benar hening. Usai isya, hampir tidak ada suara apapun di sana. Benar-benar ngelangut. Dan saya menikmati suasana semacam itu.

Awal Mei kemarin, saya terpikir untuk menikmati ulang tahun di tempat Apri. Jadi, malam hari, saya ke rumah Apri dengan dua dus nasi, dua gelas besar teh, serta beberapa jajan. Dan udud, tentu saja.

Apri tidak tahu kalau waktu itu saya berulang tahun, dan itu tidak penting. Karena saya hanya ingin menikmati moment itu bersamanya, di tempatnya yang hening. Biasanya, kalau kami ngobrol sampai larut malam, dan saya enggan pulang—karena harus melewati jalan panjang yang sunyi dan gelap—Apri meminta saya menginap di rumahnya.

Malam itu sekitar pukul 20.00, dan Apri menyambut saya dengan semringah seperti biasa. Kami lalu memakan nasi yang saya bawa, dan menikmati udud sambil mengobrol.

“Aku senang tiap kali kamu datang,” kata Apri malam itu, “karena artinya aku akan makan nasi.”

Pengakuan itu mungkin terdengar aneh, tapi Apri benar-benar mengalaminya. Dia jarang makan nasi, karena harus berhemat, menjalani hari demi hari. Saat pertama kali mengetahui kenyataan itu, saya terkejut. Tapi akhirnya benar-benar memahami apa yang terjadi dan dialaminya.

Bertahun-tahun lalu, setelah saya keluar dari tempat kerja kami, Apri masih tetap bekerja di sana. Tapi sekitar tiga tahun kemudian tempat kerja itu tutup—hal yang biasa terjadi pada usaha rumahan. Apri lalu pindah ke tempat lain, masih pekerjaan sama, menggambar batik. Tapi usaha rumahan sering kali tidak dapat diandalkan. Di tempat baru itu Apri sempat kerja dua tahunan, lalu tutup lagi.

Setelah itu, dia mendatangi tempat-tempat usaha batik lain, yang sama-sama skala rumahan, tapi tidak menemukan lowongan. Sejak itu, Apri bisa dibilang bekerja serabutan, apa saja, yang penting dapat uang. 

Kerja serabutan kedengarannya tidak mudah. Dan nyatanya memang begitu. Orang mungkin enteng mengatakan, “Kalau mau kerja apa saja, pasti ada kerjaan.” Apri sudah membuktikannya. Dia mau bekerja apa saja, tapi pekerjaan belum tentu ada. Mungkin karena dia tinggal di pinggiran kota, tempat orang-orang bersahaja menjalani kehidupan sederhana, dan biasa mengerjakan apa-apa sendiri.

Apri juga hanya lulusan SMP, sementara usianya sudah melewati batas usia umum yang biasa ada di lowongan kerja. Jadi, meski hampir saban hari dia mencari lowongan kerja, tidak ada satu pun yang bisa ia lamar. Sering kali dia harus berhadapan dengan persyaratan pendidikan dan/atau batas maksimal usia.

Terkait hal itu, Apri punya candaan untuk dirinya sendiri, “Kadang aku mikir. Umpama aku nemu lowongan kerja yang pas, dan diundang wawancara, aku juga pasti bingung. Karena tidak punya sepatu, tidak punya celana kain, tidak punya baju formal.” Dia hanya punya celana jins dan beberapa t-shirt.

Belakangan, melalui seorang teman, Apri kadang diundang kerja di sebuah biro ekspedisi, tapi statusnya bukan pekerja tetap. Sewaktu-waktu, saat biro ekspedisi sedang menangani banyak barang kiriman, dan butuh tenaga tambahan, Apri diundang. Tapi hanya sehari dua hari, setelah itu Apri tidak ada kerjaan lagi sampai berhari-hari kemudian.

Karena latar belakang itu, Apri harus sangat berhemat. Setiap kali dapat uang, ia menggunakannya untuk membeli mi instan sebagai stok harian, karena sadar belum tentu ada uang untuk makan nasi. Jadi, hampir saban hari, Apri hanya makan mi instan, satu kali sehari. Kadang-kadang, saat stok mi instan habis dan duit tidak ada, dia tidak makan apa-apa, hanya minum teh.

Malam itu, saat saya ke rumahnya, dan kami menikmati nasi yang saya bawa, Apri mengaku sudah seminggu tidak makan nasi. Beberapa hari belakangan, dia hanya makan mi instan. Kadang malah hanya beberapa gorengan.

Usai makan, kami bercakap-cakap santai, dan Apri mengatakan, “Dulu, aku sering mendengar orang mengatakan, ‘tidak mungkin kalau seseorang tidak punya uang sama sekali’. Dulu aku percaya omongan itu, karena katanya rezeki sudah ada yang mengatur. Tapi belakangan aku membuktikan kebalikannya. Aku pernah berhari-hari tidak punya uang sama sekali! Benar-benar tidak punya uang, serupiah pun! Waktu itu di rumah juga tidak ada makanan apapun, dan aku hanya minum teh. Sehari dua hari aku masih tahan, meski lapar luar biasa. Tapi hari ketiga, aku merasa akan semaput. Akhirnya aku ke warung langganan, dan ngutang sebungkus mi instan.”

Setelah itu, dua hari berturut-turut, Apri kembali tidak makan apa-apa, dan hanya minum teh. Tidak ada uang, tidak ada makanan, tidak ada apapun. Di hari ketiga, untungnya dia diundang kerja ke biro ekspedisi, karena pas ada banyak barang kiriman di sana, dan di hari itulah saya bertemu dengannya di sana.

“Tidak punya pekerjaan itu sudah buruk rasanya,” ujar Apri. “Tapi ternyata ada yang lebih buruk, yaitu tidak punya kerja dan tidak punya uang sama sekali. Rasanya gelisah tak karuan. Mau makan, tidak ada uang. Mau tidur susah, karena perut kelaparan. Bangun tidur, hidup rasanya hampa.”

Apri anak pertama dari tiga bersaudara. Dia punya dua adik, laki-laki dan perempuan. Adiknya yang laki-laki merantau ke luar kota, sementara adiknya yang perempuan sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di tempat lain. Kedua orang tua Apri sudah tiada, dan rumah yang ditinggali Apri sekarang adalah rumah warisan orang tua mereka. 

“Kadang-kadang,” ujar Apri, “aku terpikir minta tolong adik-adikku. Tapi aku menyadari, mereka juga hidup susah.”

Kemiskinan itu mengerikan, khususnya bagi yang benar-benar mengalami atau pernah mengalami. Kemiskinan sering kali tidak “seindah” yang digambarkan di film-film atau sinetron. Kemiskinan juga tidak “sepositif” yang biasa dikatakan para motivator. Bagi orang-orang yang mengalaminya, kemiskinan lebih tepat disebut jurang kegelapan—sebagian orang mungkin dapat merangkak naik dan menjemput cahaya, sebagian lain terus berkubang dalam kegelapan dan kebingungan tanpa akhir.

Orang mungkin bisa enteng mengatakan, “Uang bukan segalanya,” atau, “Uang bukan jaminan kebahagiaan.” Apri, dan rata-rata orang miskin lain, bertanya-tanya, “Apakah orang-orang yang mengatakan kalimat itu benar-benar miskin dan benar-benar tidak memiliki uang?” Karena, kalau cuma ngomong, siapa pun bisa.

Di titik terendah, banyak orang miskin rela melakukan apa saja demi mendapat uang, karena butuh mengganjal perut yang kelaparan. Bahkan Apri, yang hidup sendirian dan bisa dibilang tidak punya tanggungan selain diri sendiri, pun berpikir sama. Dia rela bekerja apa saja, asal mendapat uang agar bisa makan. Apri mengatakan, “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ruwetnya pikiran orang-orang miskin lain yang kebetulan sudah punya pasangan dan anak-anak.”

Karena latar belakang kenyataan itu, Apri cuma tersenyum masam setiap kali mendengar orang mengatakan, “Tak perlu khawatir, rezeki sudah ada yang mengatur.” Karena dia sering tidak makan sampai berhari-hari akibat tidak ada rezeki, tidak ada makanan, tidak ada uang. 

Kemiskinan yang dialami Apri adalah potret kemiskinan kultural sekaligus kemiskinan struktural. Apri mengenang, almarhum ayahnya dulu juga sering mengatakan, “Tidak perlu khawatir soal rezeki, karena rezeki sudah ada yang mengatur.” Kalimat itu biasanya diucapkan saat ayahnya dulu berhari-hari tidak ada pekerjaan. 

Karena latar belakang itu, Apri dan adik-adiknya hanya bisa bersekolah sampai SMP, karena ketiadaan biaya. Karena pendidikan rendah, lapangan kerja yang tersedia untuk mereka juga sangat terbatas. Itu pun masih ditambah usia yang kian hari kian bertambah, yang makin menjauhkan Apri dari lowongan kerja yang mempersyaratkan batas usia tertentu. Jadilah Apri yang sekarang; hidup tidak jelas, pekerjaan tidak jelas, nasib dan masa depan tidak jelas.

Malam itu, kami ngobrol sampai larut malam, sementara suasana kampung Apri sunyi ngelangut seperti biasa. Orang-orang di lingkungan itu mungkin sudah tertidur di rumahnya masing-masing, dengan masalah dan problematika masing-masing, percaya hidup baik-baik saja karena “rezeki sudah ada yang mengatur”, lalu terlelap dalam mimpi menjemput esok hari—berharap, entah bagaimana, kehidupan akan lebih baik.

Saya menengok jam di tangan. Sudah lewat tengah malam.

Apri berkata, “Nginap saja, tidak usah pulang.”

Kami pun lalu membaringkan diri di lantai beralas tikar, dan bercakap-cakap sambil menunggu mata terpejam.

Malam semakin ngelangut.

Related

Hoeda's Note 8291717369103080644

Posting Komentar

  1. omong2 soal batik, aku punya pengalaman yang mungkin jadi alasan mengapa banyak usaha batik rumahan itu gampang gulung tikar.

    dulu, 2014 lalu, ada tetangga mertua yang jualan batik. dia mau kerja sama denganku dan istriku. oke, karena sepertinya prospek banget, aku dan istri akhirnya ngobrol dengan owner-nya ini.

    cuma yang agak menyebalkan adalah dia bikin aturan harga batik yang dijual hanya boleh di-up 5 ribu rupiah saja. nah, dari sini aku udah mulai males nerusin pembicaraan.

    rata2 orang awam itu pengennya jual barangnya itu ga terlalu mahal dan rekanannya ga dapat laba lebih besar dari dia. ini keserakahan yang merusak segalanya. aku yang paham tentang jualan online saat itu tentu males doang kalo cuma untung 5 ribu per bijinya.

    dia pikir aku ga modal apa2 buat jual batiknya dia. sedangkan faktanya aku harus ngeluarin duit yang belum tentu itu balik modal buat domain, hosting, dan juga sewa penulis yang bagus buat promosi.

    untuk harga saat itu domain dan hosting 1 tahun butuh sekitar 400 ribu, itu udah paling murah. oke anggap saja aku pakai blogspot, tetap harus keluar uang 100 ribu untuk beli domain saja.

    untuk balik modal 100 ribu aku perlu 20x batiknya laku (karena max ambil keuntungan 5 ribu per biji)? ini sih buang2 waktu.

    seandainya dia ga ngebatasi labanya, okelah, mungkin awal2 aku bakal ambil margin 30 ribu per bijinya. bisa laku? tentu saja bisa dong. semua tergantung cara ngepromosiinnya.

    kenapa aku ga jual diam2 aja dengan margin besar? jelas aku males mencederai perjanjian. prinsipku kalo bisnis mending terang2an aja di depan. daripada udah laku keras, keenakan dia dong brand-nya udah besar, eh aku ga dapat apa2 malah rugi buat modal promosi.

    seringkali orang tahu cara membuat produk tapi tidak tahu cara promosinya. itulah yang bikin gagal, padahal produknya bagus.

    ---

    omong2 soal ga punya duit, aku pernah juga merasakan. ya memang tidak enak. dulu awal2 nikah (setelah ga kerja karena perusahaannya bangkrut), buat beli nasi goreng aja masih ngitung apa cukup buat besok juga.

    cuma bedanya waktu itu umurku masih muda, jadi bisa coba kerja ini itu. dan sempat bikin stress juga. aku dan istri cari cara ada ga kerjaan yang bisa dikerjain di rumah dan cukup. karena waktu itu aku ngajar les fisika anak SMA, tetap ga cukup (tahu sendiri kan gaji guru di Indonesia kayak apa).

    alhamdulillah ketemu juga kerjaan ngebacklink toped, saat itu nemu gara2 istri blogwalking di blog blogger2 cewek. nah dari sana mulai membaik. kemudian makin membaik setelah tahu cara jualan job review blog gara2 diajari sama temen istri juga (penjual artikel, suaminya yang bagian nulis).

    sampe sekarang aku ga bisa ngelupain jasa dia dan suaminya, yang bantuin aku dan istriku buat dapat penghasilan dari blog.

    tapi emang ga punya duit itu ga enak. apalagi kalo udah punya istri dan anak. mungkin istrinya sabar, anaknya yang ga sabar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau di tempatku, rontoknya banyak usaha batik biasanya karena persaingan yang keras, John. Ada banyak produsen batik, besar dan kecil. Namanya produksi, semakin besar produksinya biasanya biaya produksi jadi lebih murah. Karenanya, produsen besar bisa memproduksi lebih banyak, menjual lebih banyak, dengan harga yang lebih murah dibanding produsen yang lebih kecil. Faktor ini banyak yang bikin produsen batik skala kecil pada bangkrut, karena nggak mampu bersaing.

      Di kampungku sendiri ada beberapa produsen/penjual batik, dan yang terbesar terus membesar, sementara yang kecil-kecil pada jalan di tempat (antara laku nggak laku). Banyak faktor penyebabnya. Pertama, produsen batik terbesar mampu menyediakan tempat-tempat parkir luas untuk para tamu (pembeli), sementara produsen kecil nggak mampu menyediakan lahan parkir karena emang nggak punya lahan. Dari faktor ini aja, produsen besar sudah menang. Karena tamu-tamu (semisal pejabat atau orang-orang dari luar kota) pasti akan memilih produsen yang besar.

      Kedua soal kelengkapan barang. Namanya produsen besar, stoknya macam-macam, dan banyak jumlahnya, sehingga calon pembeli memiliki lebih banyak pilihan. Kebalikannya, produsen kecil hanya mampu menyediakan stok barang dalam jumlah terbatas. Lalu ketiga soal harga.

      Faktor-faktor itu (ditambah faktor lain yang bisa jadi ada), menyebabkan produsen-produsen skala kecil akhirnya ambruk satu per satu karena nggak mampu bersaing.

      Hapus
    2. Aku pikir karena gempuran batik dari China. Ternyata sesama lokal toh.

      Dengan fakta seperti yang kamu kasih, aku jadi mikir kenapa yang pengusaha batik besar tidak mencoba membantu/menggandeng yang batik kecil yah? Semacam kolaborasi gitu.

      Tapi sepertinya manusia susah untuk tidak monopoli sih.

      Sorry, mungkin cara pikirku agak sedikit aneh dari orang kebanyakan. Di tempat kerjaku sekarang, malah suka jika kolaborasi dengan kompetitor. Sengaja ga matiin kompetitor. Karena ide-ide baru bisa jadi datang dari kompetitor.

      Hapus
  2. Kalau di tempatku, persaingannya sesama lokal, John. Nggak tahu sih kalau di tempat-tempat lain.

    Kondisi yang sekarang terjadi di industri batik seperti yang aku ceritakan itu sebenarnya udah terjadi sejak dulu. Makanya yang terus bertahan adalah yang besar-besar. Belakangan, yang besar-besar itu juga saling bersaing, dan sebagian mereka tutup, hingga jumlahnya makin sedikit. Makanya para pengusaha batik jadi punya semacam pikiran kalau kolaborasi kayak sulit diwujudkan, karena iklim persaingan itu udah berjalan sejak sangat lama. Nggak tahu bakal kayak gimana ke depannya.

    BalasHapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item