Mengapa Al-Farabi Dianggap Ateis?

https://www.belajarsampaimati.com/2025/09/mengapa-al-farabi-dianggap-ateis.html
![]() |
Ilustrasi/thecolumnist.id |
Al-Farabi, seorang filsuf Muslim yang hidup pada abad ke-10, dikenal sebagai salah satu pemikir terbesar dalam tradisi filsafat Islam. Ia sering kali dianggap "Guru Kedua" setelah Aristoteles karena karyanya yang mengintegrasikan pemikiran Yunani dengan ajaran Islam. Namun, meskipun kontribusinya yang signifikan dalam bidang filsafat, Al-Farabi juga menghadapi tuduhan sebagai ateis dan dianggap menyebut semua nabi sebagai pendusta. Tuduhan ini mencerminkan ketegangan antara pemikiran rasional dan dogma teologis pada zamannya.
Salah satu alasan Al-Farabi dianggap ateis adalah pandangannya yang rasional mengenai Tuhan dan penciptaan. Dalam karyanya, Al-Farabi berusaha menjelaskan eksistensi Tuhan melalui argumen filosofis yang berbasis pada logika dan akal. Ia mengemukakan bahwa Tuhan sebagai penyebab pertama dari segala sesuatu, tetapi tidak selalu menggunakan terminologi religius yang umum diterima oleh masyarakat. Pendekatan ini, yang lebih mengutamakan rasio daripada wahyu, membuatnya dianggap meragukan keimanan yang lebih ortodoks dan menjauhkan dirinya dari pandangan tradisional tentang agama.
Selain itu, Al-Farabi juga mengemukakan pandangan yang lebih skeptis terhadap otoritas para nabi. Dalam beberapa karyanya, ia berargumen bahwa wahyu tidak selalu menjadi sumber kebenaran yang absolut. Ia percaya bahwa kebenaran dapat dicapai melalui akal dan pemikiran kritis, sehingga menempatkan nabi dalam posisi yang tidak selalu superior.
Pandangan itu, yang menyiratkan bahwa para nabi mungkin tidak memiliki kebenaran mutlak, membuatnya dituduh sebagai penentang ajaran agama dan bahkan sebagai pendusta. Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan teologis yang menganggap nabi sebagai utusan Tuhan yang tidak bisa disangsikan.
Ketegangan ini makin meningkat ketika Al-Farabi mencoba mengintegrasikan pemikiran filosofis dengan ajaran agama. Meskipun ia berusaha membuktikan bahwa filsafat dan agama dapat saling melengkapi, banyak ulama konservatif melihat upayanya sebagai ancaman terhadap otoritas dogmatis. Mereka merasa pemikiran Al-Farabi dapat mengarah pada keraguan terhadap ajaran Islam yang telah mapan, dan karena itu ia dianggap sosok yang berbahaya bagi stabilitas sosial dan keagamaan.
Akibat dari pandangan itu, Al-Farabi menghadapi kritik tajam dari kalangan yang lebih konservatif. Meskipun ia tidak secara eksplisit menolak agama, cara berpikirnya yang rasional dan skeptis membuatnya terasing dari komunitas yang lebih tradisional. Tuduhan bahwa ia adalah ateis dan menyebut nabi sebagai pendusta mencerminkan bagaimana pemikiran kritis sering kali dianggap sebagai ancaman bagi norma-norma yang telah ada.
Meski demikian, warisan Al-Farabi tetap hidup dan dihargai dalam sejarah pemikiran. Karyanya dalam bidang filsafat, terutama dalam etika dan politik, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan pemikiran Islam dan Barat. Ia sering dianggap sebagai jembatan antara pemikiran Yunani dan pemikiran Islam, serta sebagai pelopor dalam pengembangan filsafat politik dan sosial.
Hmm... ada yang mau menambahkan?