Menutup Pintu Rumah adalah Hak dan Privasi Setiap Orang

Ilustrasi/bukabangunan.com
Di catatan terdahulu (Anak-anak Perlu Memahami Privasi, Begitu Pula Orang Tua), kita mengenal pentingnya menghargai privasi, khususnya di antara orang tua dan anak. Catatan ini akan melanjutkan uraian tersebut, dan kita akan belajar lebih jauh mengenai privasi dan batasan (boundaries).

Saya akan memulai catatan ini dengan kisah sepele namun penting, yang tanpa sengaja saya dapatkan ketika sedang dolan ke rumah teman. 

Suatu waktu, saya sedang berada di rumah seorang teman, dan kami ngobrol di teras rumah. Lalu ada tetangga teman saya yang datang untuk menyerahkan undangan. Si tetangga nyeletuk, “Ini undangan udah dari kemarin di tempatku. Mau aku kasih ke kamu, tapi pintu rumahmu tutup terus.”

Teman saya, dengan nada bercanda, menyahut, “Iya, soalnya ini rumah, bukan warung.”

Itu cuma percakapan ringan, yang ditujukan sebagai candaan antartetangga. Tapi bagi saya sangat penting, karena menunjukkan salah satu contoh privasi dan batasan, dan bagaimana kita mestinya mulai membiasakan diri dengan hal itu.

Di lingkunganmu, mungkin ada rumah yang pintunya selalu tertutup, dan ada pula rumah yang pintunya sering terlihat terbuka. Manakah yang benar? Tidak ada yang benar atau salah dalam hal itu, karena masing-masing orang punya alasan dan kebiasaan sendiri-sendiri. Dan fenomena semacam itu bukan hanya ada di lingkunganmu, tapi juga ada di lingkungan lain.

Ada keluarga, misalnya, yang punya beberapa anak kecil, dan anak-anak itu biasa keluar masuk rumah. Karenanya, rumah milik keluarga itu pintunya sering terbuka, untuk memudahkan anak-anaknya keluar masuk rumah. Biasanya pula, rumah yang pintunya sering terbuka semacam itu juga ada di lingkungan yang relatif aman.

Tetapi ada pula keluarga yang tidak punya anak, atau anaknya sudah besar, dan pintu rumah mereka sering tertutup. Karena mereka memang jarang keluar masuk rumah sebagaimana anak-anak kecil yang masih suka bermain. Ada pula orang yang seharian bekerja, sementara istrinya tinggal sendiri di rumah. Biasanya, rumah orang itu sering tertutup pintunya, untuk menghindari fitnah.

Saya sendiri, misalnya, hidup di rumah sendirian, dan pintu rumah saya selalu tertutup, kecuali ketika ada tamu. Saya sengaja selalu menutup pintu rumah, sebagai bagian dari menjaga privasi. Karena sendirian di rumah, saya tidak selalu siap jika ada tamu. Misal, saya sedang di kamar mandi, lalu ada tamu. Karena sendirian, maka sayalah yang harus membukakan pintu, dan tentu saya harus merapikan diri terlebih dulu. Karena itulah saya sengaja menutup pintu rumah, agar orang tidak bisa masuk secara leluasa atau seenaknya. 

Rumah orang per orang adalah privasi mereka. Dan cara mereka memperlakukan privasinya adalah hak mereka sepenuhnya. Artinya, kalau orang selalu menutup pintu rumahnya, itu hak dia. Dia tentu punya alasan dan pertimbangan tertentu hingga selalu menutup pintu rumahnya. Misalnya seperti saya, yang hidup sendirian, dan sengaja menutup pintu rumah untuk menjaga privasi kalau-kalau ada tamu yang datang sewaktu-waktu.
 
Jangankan sekadar menutup pintu, atau menutup jendela, bahkan umpama orang memagari rumahnya dengan pagar yang tinggi, misalnya, itu hak dia sepenuhnya. Wong dia membangun pagar di tanahnya sendiri, dan dia juga menutup pintu atau jendela di rumahnya sendiri. Kita perlu memahami hal ini, sebagai bagian dari menghormati privasi orang lain. Setiap orang, termasuk kita, punya hak sepenuhnya untuk menjaga privasi, dan kita harus menyadari.

Saya merasa perlu menulis catatan ini, karena kadang ada orang yang mudah menghakimi orang lain hanya karena pintu rumanya selalu tertutup. Biasanya mereka mengatakan, “Rumah kok pintunya tertutup terus!”

Padahal, seperti yang telah disebutkan tadi, masing-masing orang memiliki pertimbangan sendiri mengenai alasan untuk sering menutup atau sering membuka pintu rumahnya, dan kita belum tentu tahu pertimbangannya. Karena kita tidak tahu pertimbangan orang per orang, mestinya tidak perlu menghakimi.

Lagi pula, meski orang selalu menutup pintu rumahnya, kita toh tetap bisa bertamu, dan dia akan membukakan pintu. Jadi, di mana masalahnya?

Kalau kita bertamu ke rumah seseorang, dan kita memencet bel atau mengetuk pintunya dengan sopan, tapi tidak juga dibukakan pintu, mungkin orangnya sedang pergi. Atau mungkin pula orangnya ada di dalam rumah, tapi masih di kamar mandi, sedang shalat, atau lainnya, yang tidak memungkinkannya keluar rumah dan membukakan pintu. Kalau memang begitu, kita bisa menunggu sesaat, siapa tahu orangnya keluar. Jika tidak juga keluar, ya sudah, kita bisa datang lain kali.

Hal-hal sepele seperti itu mestinya dipahami semua orang, karena bagian dasar dari etika sekaligus privasi. 

Ada rumah yang pintunya sering tertutup, dan ada pula rumah yang pintunya sering terbuka. Kalau kita kebetulan bertamu ke rumah seseorang dan kebetulan pintunya terbuka, jangan masuk rumah seenaknya. Tetaplah berdiri di depan pintu, dan tunggu sampai pemilik rumah muncul—kecuali jika kita punya hubungan dekat dengan si pemilik rumah dan saling percaya, misalnya kakak-adik atau famili. Sekali lagi, ini bagian dari etika, sekaligus penghormatan pada privasi orang lain.

Dalam fiqih sosial bahkan ada ajaran yang bagus tekait pintu rumah yang terbuka, tapi entah kenapa hampir tidak pernah diajarkan ustaz di mana pun. Menurut fiqih sosial, jika kita kebetulan sedang berjalan dan melewati rumah yang pintunya terbuka, jangan menengok ke dalam rumah! 

Bahkan menengok ke dalam rumah saja dilarang, padahal pintunya terbuka, karena itu termasuk pelanggaran privasi. Dan jika sekadar menengok ke dalam rumah seseorang yang pintunya terbuka saja sudah dilarang, apalagi lebih dari itu?

Hal-hal besar dimulai dari hal-hal kecil. Kita tidak bisa menghormati seseorang jika kita melanggar privasinya, dan orang lain tidak akan menghormati kita jika kita memperlakukan mereka dengan tanpa etika. Selalu ingat bahwa kita membutuhkan privasi, begitu pula orang lain. Kita tidak suka privasi kita dilanggar, begitu pula orang lain.

Jika ada tetangga yang pintu rumahnya selalu tertutup, itu hak dia sepenuhnya. Jangankan sekadar menutup pintu atau jendela, dia bahkan punya hak memagari rumahnya, karena itu memang propertinya. Jika kita kebetulan ingin menemuinya, datanglah dengan baik-baik, ketuklah pintunya dengan sopan, dan bertamulah dengan etika, tanpa melanggar privasi orang yang kita datangi. Jangan seenaknya longak-longok ke kamarnya, atau asal selonong ke mana-mana tanpa izin pemilik rumah.

Jika kita kebetulan bertamu ke rumah orang yang pintunya terbuka, tetaplah berdiri di depan pintu, dan jangan asal masuk rumah seenaknya. Tunggu sampai pemilik rumah keluar, dan mempersilakan kita masuk. Jika pemilik rumah tidak juga keluar, kita bisa pulang, dan bertamu di lain waktu. Pintu rumah yang terbuka bukan berarti kita bisa masuk seenaknya.

Jika kita sedang berjalan di suatu perkampungan atau kompleks perumahan, dan kebetulan melewati rumah yang pintunya terbuka, tahanlah diri untuk tidak menengok ke dalam rumah. Itu bukan rumah kita, tapi rumah milik orang lain, dan kita tidak punya hak untuk melongok ke dalamnya, karena bisa jadi akan melanggar privasi orang lain.

Hal-hal besar selalu dimulai dari hal-hal kecil. Menghormati orang lain dimulai dengan menghormati diri sendiri. Dan menghormati diri sendiri bisa dimulai dengan memahami privasi.

Related

Hoeda's Note 5330581547173683903

Posting Komentar

  1. Dulu, rumah ibuku pintunya sering kebuka. Sampai suatu saat ada tetanggaku yang rese, dia nyolong laptop dan hapeku.

    Sejak itu, rumah ibuku selalu tertutup.

    Sejak itu juga, setelah menikah, aku lebih sering menutup pintuku. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Apalagi terkadang ada tetangga yang main nyelonong aja. Kalo ada kesempatan bukan tidak mungkin dia ngambil sesuatu yang menarik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, artinya orang sering menutup pintu rumahnya itu bukan tanpa alasan yang logis. Sayangnya, kadang ada orang yang menganggap pintu rumah sering tertutup sebagai hal yang "tidak ramah". Kan repot, kalau gitu.

      Btw, sori John, aku baru sempat cek tab komentar.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item