Mengapa Ongkos Kirim Biro Ekspedisi Bisa Jauh Berbeda?

 Mengapa Ongkos Kirim Biro Ekspedisi Bisa Jauh Berbeda?
Ilustrasi/digination.id
Ketika marketplace di internet semakin berjaya seperti sekarang, siapakah yang paling beruntung? Mungkin semua pihak yang terlibat di dalamnya sama-sama beruntung atau diuntungkan. Namun ada satu pihak yang mendapat keuntungan paling banyak, yaitu biro ekspedisi.

Mari gunakan ilustrasi sederhana. Tokopedia dan Bukalapak, misalnya, adalah dua marketplace besar di Indonesia. Keduanya sama-sama membutuhkan perusahaan jasa ekspedisi untuk mengantarkan barang pesanan konsumen ke alamat si pemesan. Di luar Bukalapak dan Tokopedia, ada banyak marketplace lain, yang sama-sama membutuhkan biro ekspedisi. Belum lagi para penjual eceran di media sosial, semuanya juga butuh biro ekspedisi untuk mengantarkan barang pesanan konsumen.

Kita lihat, ada banyak marketplace dan penjual eceran di media sosial, yang semuanya membutuhkan biro ekspedisi. Dalam hal ini, setiap biro ekspedisi bisa melayani semua marketplace dan semua penjual eceran. Kita mau beli barang di marketplace mana pun, atau memesan produk dari penjual eceran mana pun, barang yang kita pesan akan diantarkan biro ekspedisi yang itu-itu juga.

Ada beberapa biro ekspedisi di Indonesia, sebagian sangat terkenal, sebagian lain mungkin jarang kita dengar/gunakan. Jika ingin tahu biro ekspedisi apa saja yang saat ini beroperasi di Indonesia, kita bisa melihatnya dengan mudah melalui marketplace semisal Bukalapak. Di sana, tersedia beberapa biro ekspedisi yang bisa kita pilih untuk mengantarkan barang yang kita pesan, dengan tarif atau ongkos kirim yang variatif.

Jika diperhatikan, tarif yang dipatok oleh masing-masing biro ekspedisi berbeda-beda, meski kadang selisihnya hanya seribu dua ribu. Meski begitu, ada pula biro ekspedisi yang memasang tarif jauh lebih rendah dibanding biro ekspedisi lain. Selisihnya bisa lebih dari separo!

Sebagai contoh, Biro Ekspedisi A menetapkan biaya kirim dari Semarang ke Jakarta sebesar Rp23.000 per kilo, dengan waktu pengiriman 2-3 hari. Sementara Biro Ekspedisi B menetapkan biaya kirim dari Semarang ke Jakarta hanya Rp11.000 per kilo, dengan waktu pengiriman 2-3 hari.

Kota asal dan kota tujuan sama. Berat barang yang dikirim setara. Waktu pengiriman juga sama. Tapi kenapa Biro Ekspedisi A menetapkan tarif yang lebih mahal (dua kali lipat) dibandingkan Biro Ekspedisi B?

Selama bertahun-tahun, saya telah menggunakan hampir semua jenis biro ekspedisi di Indonesia, baik untuk tujuan pengiriman dari saya ke pihak lain (misal mengirim barang ke seorang teman), maupun untuk pengiriman dari pihak lain ke saya (misal saya beli barang di marketplace). Selama bertahun-tahun menggunakan jasa mereka, rata-rata punya layanan yang sama, khususnya dalam hal waktu pengiriman. Tidak ada yang lebih istimewa. Meski begitu, tarif yang mereka tetapkan bisa sangat berbeda.

Jika selisih yang terjadi pada tarif mereka hanya seribu atau dua ribu, saya tidak akan terusik. Yang membuat saya tertarik, selisih harga atau tarif mereka bisa lebih dari 50 persen, padahal kota tujuan sama, berat barang yang dikirim sama, dan waktu pengiriman juga sama. Bagaimana keanehan semacam itu bisa terjadi?

Belakangan, saya tahu bahwa selisih tarif yang “tak masuk akal” itu terjadi karena adanya “permainan” yang berpotensi merugikan konsumen, sekaligus memicu persaingan yang tidak sehat. Karena latar belakang itu pula, saya terpaksa menulis catatan ini.

Di Indonesia, ada beberapa biro ekspedisi, dan mereka saling bersaing untuk mendapat pengguna/pelanggan sebanyak-banyaknya. Dalam hal itu, mereka bersaing memberikan layanan yang paripurna, semisal menjaga barang kiriman dalam kondisi baik (tidak rusak), dan mengantarkan ke alamat tujuan tepat waktu. Tapi hal semacam itu bisa ditiru oleh pesaing mereka. Karenanya, menyiasati hal tersebut, ada biro ekspedisi yang “main belakang”.

Biro Ekspedisi A, misalnya, memberikan tawaran menarik berupa persentase (komisi) dari total biaya pengiriman yang dilakukan dalam satu bulan. Jumlah komisi yang ditawarkan bisa 15 persen atau lebih.

Misalnya, kita berdagang di internet, dan menggunakan Biro Ekspedisi A untuk mengirim barang ke konsumen. Dalam sebulan, kita menghasilkan sekian penjualan. Jika dalam sebulan itu total biaya kirim yang diterima Biro Ekspedisi A (melalui penjualan produk kita) mencapai Rp10.000.000, misalnya, kita mendapat 15 persen (atau lebih) dari jumlah itu. Angka yang jelas menarik.

Dengan cara seperti itu, para pedagang tentu akan memilih Biro Ekspedisi A daripada yang lain, meski tarif atau ongkos kirim yang mereka tetapkan lebih mahal dari biro ekspedisi lain.

Latar belakang itulah yang menjadikan tarif atau biaya kirim masing-masing biro ekspedisi bisa berbeda, dan selisihnya bisa sangat banyak. Dalam ilustrasi di atas, Biro Ekspedisi A memberikan komisi sekian persen kepada pihak pedagang—yang mengirim barang ke konsumen—sementara Biro Ekspedisi B tidak memberikan komisi apa pun pada pedagang, dan menetapkan tarif murni yang merupakan biaya pengiriman normal.

Sekilas, praktik semacam itu—biro ekspedisi memberikan komisi kepada pedagang—tampak tidak bermasalah, toh namanya juga pasar bebas. Tapi sebenarnya ada masalah yang mungkin tak terlihat. Karena dalam praktik itu, konsumen dirugikan; mereka harus membayar ongkos kirim lebih mahal, karena biro ekspedisi harus memberikan komisi pada pihak pedagang. Dengan kata lain, komisi itu sebenarnya dibayar oleh konsumen!

Jangan lupa, ongkos kirim pembelian barang di internet—termasuk di marketplace—ditanggung oleh pembeli. Selama ini, sebagian orang mungkin mengira bahwa biro ekspedisi yang menetapkan biaya mahal adalah yang bonavid dan terpercaya, sementara biro ekspedisi yang menetapkan biaya murah kurang terpercaya. Itu asumsi keliru!

Kenyataannya, masing-masing biro ekspedisi memiliki layanan yang rata-rata sama, karena mereka menggunakan sistem kerja yang sama! Mereka sama-sama biro ekspedisi—bukan restoran dengan koki genius yang memiliki bumbu rahasia!

Saya sering membeli barang lewat marketplace, di antaranya Bukalapak dan Tokopedia. Setiap kali membeli barang, saya akan menentukan biro ekspedisi yang harganya normal (murah), untuk mengantarkan barang pesanan saya. Di marketplace, ada daftar biro ekspedisi yang bisa dipilih konsumen, meski kadang ada pedagang di sana yang “main petak umpet”.

Misalnya begini. Saya mau membeli suatu barang di marketplace, tapi lapak bersangkutan tidak menyediakan pengiriman lewat biro ekspedisi yang biasa saya gunakan (yang menetapkan tarif normal). Biasanya, saya akan mengirim pesan (chat) ke pedagang bersangkutan, “Saya mau beli barang ini, tapi saya ingin pakai Biro Ekspedisi B yang murah. Jika tidak bisa, saya akan pindah ke lapak lain.”

Biasanya, setelah saya mengirim permintaan seperti itu, pedagang atau lapak tersebut akan memunculkan pilihan Biro Ekspedisi B di lapaknya, sehingga bisa saya pilih untuk mengantarkan barang yang saya pesan (meski, dalam kasus tertentu, mereka tetap tidak memunculkan Biro Ekspedisi B, khususnya jika total belanja saya tidak terlalu besar—dan saya akan pindah ke lapak lain).

Kejadian semacam itu telah saya alami berkali-kali. Selama bertahun-tahun membeli aneka barang kebutuhan di marketplace, biaya kirim yang saya hemat mungkin telah mencapai jutaan rupiah, hanya dengan cara seperti yang saya jelaskan tadi.

Ada banyak pedagang atau lapak di marketplace yang sengaja “menyembunyikan” biro ekspedisi yang menetapkan tarif normal atau paling murah, sehingga pembeli tidak bisa menggunakannya, karena biro ekspedisi itu tidak memberikan keuntungan (persentase/komisi) kepada pihak pedagang. Inilah yang tadi saya sebut “berpotensi merugikan konsumen, dan memicu persaingan yang tidak sehat”.

Ketika konsumen membeli barang di marketplace, mereka membayar barang yang dibeli, sekaligus membayar ongkos kirim. Dalam hal itu, semua pihak sebenarnya sudah diuntungkan. Pedagang untung karena barangnya laku, dan biro ekspedisi untung karena jasanya digunakan. Tinggal bagaimana pedagang dan biro ekspedisi memberikan layanan terbaik, pilihan ada di tangan konsumen.

Tetapi, dengan adanya “main mata” antara biro ekspedisi dengan pihak pedagang, konsumen harus membayar lebih untuk ongkos kirim! Karena biro ekspedisi harus memberikan komisi pada pihak pedagang, dan komisi itu sebenarnya dibayar oleh konsumen! Hasilnya, persaingan di antara biro ekspedisi bukan pada layanan terbaik yang bisa diberikan untuk konsumen, tapi pada besaran komisi yang bisa diberikan pada pedagang, yang, sekali lagi, dibebankan pada konsumen!

Tak peduli kita menyebut pasar bebas, ini jelas model persaingan yang tidak sehat, karena merugikan—bahkan mengorbankan—konsumen.

Belakangan, Tokopedia bahkan “menyembunyikan” pilihan biro ekspedisi di platform mereka, sehingga konsumen tidak bisa langsung memilih biro ekspedisi mana yang diinginkan untuk mengirim barang pesanan. Saya tidak tahu apa latar belakang Tokopedia melakukan kebijakan seperti itu. Yang jelas, sebagai konsumen, sekarang saya agak bingung kalau beli barang di Tokopedia, karena kesannya tidak transparan.

Di Tokopedia saat ini (per Januari 2020), opsi yang ditawarkan hanyalah biaya kirim berdasarkan waktu pengiriman, bukan berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh masing-masing biro ekspedisi. Jadi saya seperti “membeli kucing dalam karung”, karena tidak tahu biro ekspedisi mana yang kelak akan mengantarkan barang yang saya pesan.

Minggu lalu, saya membeli barang di Tokopedia, dan memilih opsi pengiriman dengan waktu paling lama (3-4 hari), sehingga biaya kirimnya paling murah. Ternyata, biro ekspedisi yang digunakan untuk “pengiriman termurah” itu adalah biro ekspedisi yang menetapkan tarif mahal (dan nyatanya ongkos kirim yang saya bayar memang relatif mahal). Kenyataan itu saya ketahui, ketika barang telah diantar ke rumah, dan tertera biro ekspedisi mana yang mengirimkannya.

Sementara Bukalapak, setidaknya sampai saat ini (per Januari 2020), masih transparan memperlihatkan biro ekspedisi yang bisa dipilih konsumen untuk mengirim barang yang dibeli, dan konsumen leluasa memilih mana yang dianggap paling baik. Dalam hal ini, saya tentu memilih biro ekspedisi yang menetapkan tarif normal, alias yang murah. Meski tarifnya lebih murah, nyatanya mereka bekerja dengan sama baik, dan barang pesanan saya dikirim tepat waktu, tanpa ada masalah.

Bahkan, jika saya amati, selama ini telah muncul aneka keluhan dari konsumen ke biro ekspedisi yang menetapkan tarif mahal. Dari masalah barang rusak, pengiriman tidak tepat waktu, dan lain-lain. Artinya, risiko semacam itu bisa terjadi pada biro ekspedisi mana pun, terlepas mereka menetapkan tarif mahal atau tarif normal.

Berdasarkan pengalaman, saya belum pernah mengalami masalah atau kekecewaan terkait biro ekspedisi yang biasa saya pakai, meski mereka menetapkan tarif lebih murah. Bagaimana denganmu?

Related

Umum 104103157892297852

Posting Komentar

  1. ya betul, aku juga mengalami

    emang kerasa betul di Tokopedia ini benar2 menyembunyikan nama bironya, kayaknya sih biar pengguna ga menandai

    karena aku sendiri juga bakal menandai di momen2 tertentu, seperti JNE dan J&T pasti lemot sampainya karena overload, lebih enak pilih Wahana (murah juga)

    menyebalkan memang, tapi bagaimana lagi haha

    hal yang sama terjadi kalo kamu beli hape di mall, pasti sales nya bakal saranin Oppo atau Vivo, dulu (tahun 2014) aku kemakan rayuan mereka (sales Oppo), karena spec RAM dua kali lipat dari Samsung dengan harga yang hampir sama, meski mahalan Oppo

    cuma ya gitu, hape Oppo ini ga awet, cuma 2 tahun langsung ga kepake, malah lebih awet hape Samsung yang aku beli 2012, rusak 2015, itupun karena beberapa dibanting dan jatuh :D

    ternyata, ada permainan licik dari Oppo, tetanggaku dulu sales hape sempat cerita, kalo Oppo berani kasih komisi 75 ribu hingga 150 ribu tiap hape Oppo yang terjual, sedangkan kalo Samsung mereka cuma dapet 15 ribu hingga 25 ribu tiap penjualan hape Samsung

    dari sana aku langsung sadar, bahwa dulu aku terbawa rayuan sales :D

    BalasHapus
  2. Itu juga alasan yang bikin aku malas belanja di Tokopedia. Kurir gak bisa bebas dipilih. Yang bikin resah, Bukalapak pun kayaknya sedang menuju ke arah itu. Malah saat ini kayaknya ada kenaikan ongkir di Bukalapak yang mungkin gak disadari pengguna. Kalau kamu perhatikan di bagian pengiriman (setelah masukkan barang di keranjang dan siap bayar), di situ tertulis "biaya pengiriman dan pengemasan". Sementara dulu hanya tertulis "biaya pengiriman".

    Artinya, sekarang urusan pengemasan barang, yang mestinya tanggung jawab penjual, sekarang dibebankan pada pembeli. Hal-hal sepele ini mungkin gak diperhatikan kebanyakan orang, tapi sejujurnya meresahkan. Aku sering beli sesuatu di marketplace, ongkos kirimnya lebih mahal daripada harga barang yang dibeli. Ini benar-benar menjengkelkan.

    Btw, trims untuk info Oppo itu. Untung aku belum sempat beli. :noprob:

    BalasHapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item