Kota-Kota dengan Desain dan Penataan Terburuk di Dunia

Kota-Kota dengan Desain dan Penataan Terburuk di Dunia, Belajar Sampai Mati, belajarsampaimati.com, hoeda manis
Atlanta, Amerika Serikat/wallpaperbetter.com
Mari bayangkan sebuah rumah. Rumah yang baik adalah rumah yang memiliki ruang serta fasilitas yang saling melengkapi. Rumah yang baik memiliki ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur yang memungkinkan istirahat dengan tenang dan nyaman, dapur yang higienis, kamar mandi, dan halaman yang menjadikan rumah tampak asri.

Rumah yang sehat juga memiliki jendela atau lubang angin yang memungkinkan udara keluar masuk dengan mudah, serta sistem sanitasi yang sehat.

Tidak jauh beda dengan rumah yang baik, kota yang baik juga membutuhkan desain atau penataan yang sama baik, agar warga kota bisa tinggal dan menjalani aktivitas keseharian dengan baik dan nyaman.

Kota yang baik didesain agar kota aman dari kemungkinan bencana, jalan raya dibangun dengan penataan yang baik sehingga terhindar dari kemacetan, sampai ruang publik yang memungkinkan warga berkumpul dengan lingkungannya.

Sayangnya, tidak semua kota memiliki desain yang baik. Ada banyak kota yang tampaknya didesain dengan buruk, atau mengalami kesalahan penataan, sehingga warganya rentan mengalami masalah seperti bencana, kemacetan terjadi di mana-mana, sementara polusi udara begitu buruk dan tidak sehat.

Di antara kota-kota dunia yang memiliki kondisi semacam itu, berikut ini beberapa kota yang dikenal memiliki desain paling buruk.

Jakarta, Indonesia

Jakarta dianggap memiliki desain buruk, karena kota ini menghadapi satu masalah yang bisa dibilang tak pernah selesai. Yaitu kemacetan. Sejak bertahun-tahun lalu, masalah kemacetan telah coba diuraikan dengan berbagai solusi, tapi kenyataannya Jakarta tetap macet sampai hari ini. Jika kita memikirkan lebih mendalam, masalah ini sebenarnya berawal dari desain penataan sebelumnya.

Sedari awal, Jakarta tampaknya tidak disiapkan untuk menghadapi kemungkinan seperti yang terjadi sekarang. Karenanya, kota ini didesain tanpa memperhitungkan kemungkinan akan terjadi kemacetan parah.

Akibatnya, ketika kemacetan itu benar-benar terjadi, yang bisa dilakukan pemerintah hanya berusaha mengurai atau mengurangi kemacetan, tapi tak pernah benar-benar menjadi solusi. Karena desain awalnya memang sudah bermasalah.

Selain itu, pembangunan yang terus terjadi di Jakarta juga tampaknya tidak atau kurang memperhitungkan dampak yang mungkin terjadi. Lahan-lahan perumahan terus dibuka, bangunan-bangunan gedung terus didirikan, hingga semuanya begitu padat dan saling berhimpitan. Dampak yang bisa kita lihat sekarang adalah mudahnya banjir menyerang ibu kota ini.

Dubai, Uni Emirat Arab

Dubai memang terkenal sebagai kota canggih yang kaya-raya, dengan bangunan-bangunan pencakar langit tertinggi di dunia. Dubai bahkan menjadi salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.

Kenyataannya, Dubai mungkin memang dirancang untuk menjadi kota ekonomi, bukan kota yang manusiawi. Kota ini didesain megah, dengan bangunan-bangunan super mewah, perumahan-perumahan elit, sementara semua bagian kota langsung terhubung dengan jalan raya besar. Sekilas, itu memang memungkinkan semuanya menjadi mudah, tetapi sebenarnya bermasalah.

Karena yang ada di Dubai hanya bangunan-bangunan dan gedung pencakar langit, pemandangan di sana pun tampak kering. Sementara jalan raya besar yang terhubung dengan semua tempat menjadikan orang di Dubai sulit untuk bisa berjalan-jalan santai. Di atas semua itu, Dubai tidak memiliki ruang publik yang ramah, sehingga warga yang tinggal di sana sulit berbaur dan bersosialisasi.

Atlanta, Amerika Serikat

Atlanta bisa dibilang “saudara kembar” Jakarta. Sama seperti Jakarta, Atlanta didesain tanpa memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Pada era 80-90-an, Atlanta mengalami booming urbanisasi besar-besaran, dan kota itu tampaknya tidak memprediksi kenyataan itu. Hasilnya persis seperti Jakarta. Kemacetan terjadi setiap waktu, di mana-mana, dan sulit diatasi.

Naypyidaw, Myanmar

Semula, ibu kota Myanmar adalah Rangoon. Namun, pada tahun 2005, ibu kota dan pemerintahan Myanmar secara resmi dipindahkan ke Naypyidaw (baca: Nay Pyi Taw). Naypyidaw berlokasi di Pyinmana, Provinsi Mandalay, yang bisa dibilang “terlepas” dari Myanmar, karena lokasi kawasan itu memang sulit terhubung ke mana pun.

Selama satu dekade sejak ibu kota Myanmar pindah ke sana, Naypyidaw menunjukkan perkembangan yang signifikan. Di sana terdapat 20 jalur jalan raya yang luas, dan dilengkapi fasilitas wifi gratis. Mungkin terdengar sebuah kota yang menyenangkan. Tetapi, kenyataannya, tidak ada orang yang tertarik tinggal di sana, kecuali para pejabat pemerintahan.

Jumlah penduduk yang tinggal di Naypyidaw dilaporkan berjumlah sekitar 900 ribu jiwa. Tetapi, banyak pihak memperkirakan jumlahnya tidak sebanyak itu. Kenyataannya, jalan-jalan besar di kota tersebut selalu kosong dan sepi. Sebegitu lengang keadaan di sana, hingga orang bisa mendengar gema suaranya sendiri jika berteriak.

Mengapa warga Myanmar enggan tinggal di Naypyidaw? Karena lokasi kota itu yang bisa dibilang sangat terpencil. Orang Myanmar bahkan menganggap Naypyidaw sebagai kota antah berantah, karena kota itu nyaris tak terhubung ke mana pun. Tinggal di sana, bagi orang Myanmar, sama artinya “lepas dari peradaban”.

Sao Paulo, Brasil

Sao Paulo adalah kota terkenal Brasil, sekaligus salah satu kota paling populer di dunia. Kita mungkin sudah sering menyaksikan fotonya, yang biasanya menampakkan sebuah patung raksasa yang berdiri megah. Sekilas, Sao Paulo memang tampak indah, meski kota ini dinilai memiliki desain yang sangat buruk.

Sao Paulo berkembang perlahan-lahan selama abad ke-20, dan mengalami transisi dari kota kecil menjadi kota besar. Seiring perkembangan yang terjadi, lingkungan di pusat perkotaan dihuni orang-orang kaya.

Kenyataan itu tak bisa dilepaskan dari desain tata kota. Perumahan-perumahan elit sengaja dibangun di pusat kota, sehingga orang-orang kaya terkonsentrasi di sana. Sementara itu, orang-orang miskin seperti sengaja didorong untuk ke pinggiran, karena perumahan-perumahan sederhana lebih banyak dibangun di wilayah pinggiran.

Desain semacam itu dilatari pemikiran untuk memudahkan transportasi yang mungkin akan lebih banyak dilakukan orang-orang kaya. Tapi ternyata keliru. Jalan-jalan raya yang berdekatan dengan pusat perkotaan—yang merupakan wilayah huni orang-orang kaya—menjadi sarana lalu lintas para penduduk yang ada di pinggiran kota, yang setiap hari harus berangkat dan pulang kerja. Akibatnya, kemacetan parah terus terjadi setiap saat.

Menghadapi kenyataan itu, orang-orang kaya di Sao Paulo terpaksa membeli helikopter untuk memudahkan transportasi mereka. Hasilnya, saat ini, Sao Paulo memiliki armada pesawat helikopter terbanyak per kapita. Kedengarannya mungkin hebat. Tapi hal itu menjadikan kota ini makin sumpek, karena kemacetan tidak hanya terjadi di jalan raya, tapi juga di udara.

Boston, Amerika Serikat

Boston terkenal sebagai salah satu kota yang memiliki lingkungan indah di Amerika. Kenyataannya kota ini memang dekat dengan kawasan yang masih alami. Tapi di situ pula letak masalahnya.

Semula, Boston adalah kawasan sederhana, tempat banyak perkebunan bahkan sapi-sapi bebas berkeliaran. Seiring perkembangan yang terjadi, Boston berubah menjadi kota modern, dan modernisasi yang terjadi terpaksa menggusur hal-hal yang semula ada di sana. Perkebunan hijau diubah menjadi gedung-gedung, sementara tempat sapi biasa berkeliaran diubah menjadi jalan raya.

Sekilas, mungkin itu tidak bermasalah. Tapi sebenarnya masalahnya terjadi di dasar. Kawasan tempat Boston sekarang berdiri sebenarnya lebih tepat sebagai tempat asri yang alami, dengan struktur tanah yang mendukung untuk hal tersebut. Karenanya, ketika Boston modern dibangun di sana, itu seperti memaksakan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Brasilia, Brasil

Kembali ke Brasil, dan kali ini ke Brasilia. Desain tata kota Brasilia dirancang pada tahun 1950-an, oleh dua arsitek terkenal Brasil, yaitu Oscar Niemeyer dan Lúcio Costa. Mereka merancang kota itu dengan megah sekaligus kokoh, dengan arsitektur beton modern, yang dimaksudkan agar terus kuat berdiri hingga beberapa dekade mendatang. Selain itu, desain Brasilia juga dibuat menarik secara visual, sehingga menarik untuk ditinggali.

Upaya tersebut memang berhasil, karena kenyataannya orang senang tinggal di Brasilia. Tapi ada satu kemungkinan yang tidak terprediksi di masa lalu, yaitu ledakan urbanisasi. Semula, Brasilia dirancang untuk 500 ribu rumah. Tetapi, sekarang, seiring makin banyak orang berdatangan ke sana, kota itu telah dihuni oleh lebih dari 3 juta jiwa. Akibatnya tentu sudah bisa dibayangkan.

Karena penduduk terus bertambah, desain kota yang semula menarik diubah paksa menjadi kawasan hunian, sehingga bisa dikatakan “merusak” desain awalnya yang indah. Ledakan penduduk juga menjadikan bangunan-bangunan di Brasilia memaksa kota ini untuk memperluas bagian luar wilayah Brasilia, dan itu makin menjadikan kota ini tampak kacau.

Dhaka, Bangladesh

Infrastruktur dan desain tata kota Dhaka bisa dibilang sangat memprihatikan, khususnya dalam bidang transportasi. Sebagai kota besar, Dhaka tampaknya tidak sadar masalah yang sedang mereka hadapi. Pertumbuhan penduduk yang pesat, juga perkembangan yang sama pesat, sepertinya tidak siap dihadapi kota ini. Akibatnya, Dhaka mengalami masalah, di hampir semua lini.

Pada bidang transportasi, bisa dibilang Dhaka tidak memiliki infrrastruktur transportasi yang memadai. Dari 650 persimpangan jalan utama di sana, hanya ada sekitar 60 titik yang dilengkapi lampu lalu-lintas. Itu pun diperkirakan tidak aktif semua.

Sementara setiap saat, setiap hari, berbagai kendaraan berjubel di jalan raya, bercampur antara truk, mobil pribadi, becak, bus, sepeda motor, dan sepeda. Hasilnya bisa ditebak. Setiap saat, jalan-jalan raya di Dhaka mengalami kemacetan bahkan kesemrawutan. Ada 15 juta orang yang setiap hari harus bolak-balik dari rumah ke tempat kerja, setiap hari.

Kenyataan itu menjadikan banyak orang memilih untuk tinggal di dekat tempat kerjanya, demi tidak mengalami kemacetan parah setiap hari. Mereka pun terpaksa tinggal di rumah-rumah kumuh yang sengaja disediakan bagi para pekerja yang tidak ingin pulang ke rumahnya sendiri. Tapi itu tampaknya belum menyelesaikan masalah.

Akibat banyaknya perumahan kumuh didirikan tanpa pertimbangan, sistem sanitasi dan pengolahan air di sana pun sangat buruk. Entah sampai kapan Dhaka akan tetap seperti itu.

Hmm... ada yang mau menambahkan?

Related

Umum 5476966781964832602

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item