Pertemuan

Ilustrasi/pexels.com
Kemampuan yang kita miliki ternyata bisa hilang, atau setidaknya berkurang, jika lama tidak digunakan, misalnya kemampuan presentasi. Saya baru tahu hal itu, ketika beberapa waktu lalu melakukan presentasi, dan menyadari kemampuan saya seperti menurun—tidak selancar dulu ketika masih sering melakukan presentasi. 

Dulu, sejak kuliah sampai tahun-tahun berikutnya, saya bisa melakukan presentasi bahkan tanpa persiapan. Selama menguasai topiknya, saya bisa mempresentasikannya dengan lancar, runtut, detail, dan memuaskan—bagi saya, juga bagi audiens. Karenanya, di masa-masa itu saya kerap menghadiri undangan berbicara di berbagai forum, dan saya menikmatinya.

Lalu era media sosial dimulai. Sejak ada Facebook, lalu Instagram dan Twitter—bahkan belakangan YouTube—acara apa pun hampir dapat dipastikan akan direkam dalam banyak foto dan video untuk diunggah ke media sosial. Sejak itu pula, saya menarik diri dan mulai menolak undangan berbicara dari pihak mana pun. Selama bertahun-tahun kemudian, saya hanya beberapa kali berbicara di forum, setelah diberi jaminan acara itu bersih dari publisitas—tidak ada foto, tidak ada video, tidak ada rekaman apa pun.

Beberapa waktu lalu, seperti yang disebut tadi, saya kembali melakukan presentasi di hadapan sekelompok audiens, dan saya menyadari kemampuan saya dalam hal itu telah menurun. Karena topik yang dibicarakan sangat rumit sekaligus teknis, saya butuh dua jam tanpa henti untuk berbicara, sambil menjaga ritme presentasi agar tidak membosankan. Itu masih ditambah dua jam lagi untuk menanggapi aneka pertanyaan dan memberikan jawaban memuaskan. Jelas bukan tugas ringan. 

Di akhir presentasi, saya terang-terangan berkata, “Mestinya saya bisa melakukan lebih baik lagi. Tapi, karena sudah lama tidak melakukan presentasi, kemampuan saya sepertinya telah berkarat.”

Mereka mengatakan presentasi saya lancar, detail, dan mudah dipahami. “Itu yang penting,” kata mereka.

Peristiwa itu diawali sebuah DM di Twitter (yang sekarang berganti nama menjadi X). Seseorang, bernama Alfi, mengirim DM, dengan isi yang ringkas, padat, dan jelas. Intinya, dia membaca tulisan saya di situs BSM, dan, “aku beserta teman-teman sangat tertarik dengan topik itu, dan ingin mendapat penjelasan langsung agar benar-benar paham. Jika kamu bersedia datang, aku jamin tidak akan ada publisitas apa pun.”

Saya tidak kenal Alfi yang mengirim DM tersebut. Waktu saya cek akun dia di X, sepertinya dia tidak terlalu sering ngetwit. Sementara data di bio juga tidak mendeskripsikan dirinya secara jelas. Tapi, karena dia tidak bertele-tele menyampaikan maksudnya, saya pun membalas DM-nya, dengan menanyakan dimana dia tinggal. 

Alfi menjelaskan tempat tinggalnya, dan saya mengatakan, “Itu artinya aku harus menempuh perjalanan lebih dari tiga ratus kilometer untuk datang ke tempatmu.” 

Alfi mengatakan, “Aku akan mengganti biaya transportasi, akomodasi, juga waktu yang kamu habiskan. Jika tidak keberatan, tolong kirimkan nomor rekeningmu.”

Sopan, tanpa basa-basi, tidak bertele-tele, dan to the point—saya suka orang ini. Jadi, saya kirimkan nomor rekening seperti yang dia minta. Beberapa saat kemudian, saya mengecek rekening, dan tersenyum. Saya kembali menulis pesan ke Alfi, “Kirimkan alamat lengkapmu, aku akan datang.”

Kami bertukar nomor ponsel. Empat hari kemudian, saya telah bersama Alfi dan teman-temannya, mempresentasikan sesuatu yang mereka minta. Belakangan, saya ada di tempat Alfi sampai tiga hari. Dan saya menyukai kebersamaan dengan mereka—Alfi dan teman-temannya. Saat saya akan pulang, Alfi mengatakan, “Kapan pun kamu datang ke sini, mampirlah. Kamu bisa tidur di tempatku.”

Semudah dan sesederhana itu. Tanpa basa-basi yang bertele-tele, tanpa drama macam-macam. Alfi hanya mengatakan yang dia inginkan, dan memberi alasan agar saya memenuhi keinginannya. Mudah, sederhana, tanpa berbelit-belit, tanpa banyak drama. Saya menyukai kesederhanaan semacam itu. 

Dan itu bukan pertama kalinya saya menemui orang asing yang benar-benar tidak saling kenal sebelumnya. Sebagian karena saya diminta, sebagian lain karena saya yang meminta. Caranya sama; to the point, tanpa banyak drama, tanpa basa-basi yang bertele-tele.

Sudah berkali-kali saya menghubungi orang asing—yang hanya saya kenal di internet—dan meminta pertemuan. Dan dari semua orang yang pernah saya hubungi, 99 persen menerima tawaran saya. Mengapa? Sederhana; saya menjelaskan ALASAN PERTEMUAN ITU, dan menjelaskan APA YANG AKAN IA DAPATKAN. 

Jika saya menghubungi seseorang, dan sekadar ngemeng, “Ketemuan, yuk,” kira-kira apa yang akan muncul dalam pikirannya? Macam-macam, tapi yang jelas tawaran seperti itu tidak menarik, dan kemungkinan besar akan ditolak, atau setidaknya dicueki. Wong tidak jelas, kok!

Berbeda jika saya menghubungi seseorang, menjelaskan maksud saya dengan baik, dan menunjukkan apa yang akan ia dapatkan jika bersedia menemui saya (biasanya saya menemui seseorang terkait suatu pekerjaan, yang memang harus dibicarakan secara langsung.) Dengan cara semacam itu, ia tertarik, karena melihat keuntungan yang akan ia dapatkan. Kalau kamu menawarkan sesuatu yang membuat orang senang, tidak akan ada yang menolak!

Disadari atau tidak, kita adalah makhluk egois. Dan karena keegoisan itu pula, kita sering tidak sadar mengedepankan kepentingan kita, tapi melupakan kepentingan orang lain. Kita ingin orang lain memenuhi keinginan kita, tapi kita tidak peduli yang diinginkan orang lain. Dalam konteks ini, kita ingin ketemu orang lain, tapi tidak pernah menanyakan pada diri sendiri, “Mengapa dia mau menemuiku?”

Jujur saja, saya sering tidak enak kalau menerima permintaan/ajakan pertemuan dari orang-orang yang hanya mengenal saya di internet, tapi tidak menjelaskan apa tujuan pertemuan itu. Orang-orang tersebut tinggal di Jakarta, di Yogya, di Bogor, di Tangerang, di Bandung, atau bahkan di Kalimantan. Kami terpisah jarak ratusan kilometer. Jika memenuhi permintaan mereka, saya harus mencarter travel, lalu menempuh perjalanan jauh. Dan jika harus menempuh perjalanan ratusan kilometer, masak iya saya hanya duduk sebentar lalu pulang?

Jika saya menemui orang-orang itu—yang tempatnya sangat jauh—tentunya tidak bisa hanya sehari. Sementara saya juga memiliki kehidupan yang harus saya jalani, pekerjaan yang harus dikerjakan, tanggung jawab yang harus ditunaikan. Jadi, jika harus pergi sejauh ratusan kilometer untuk menemui orang yang tidak saya kenal, apa tujuan pertemuan itu? Ini sederhana tapi penting, yang sayangnya tidak dipikirkan kebanyakan orang.

Pikirkan pertanyaan ini: Jika saya mengajakmu bertemu, sementara kamu tidak kenal saya, dan tidak tahu apa tujuan pertemuan itu, padahal kamu harus menempuh perjalanan jauh—sementara kamu punya kesibukan yang harus dijalani—apakah mungkin kamu akan tertarik menemui saya? Jawabannya jelas sekaligus mutlak; tidak akan!

Karenanya, kalau orang-orang di internet berpikir saya hanya mau bertemu jika ada kepentingan, jawabannya ya, memang! Karena kita sebenarnya tidak saling kenal, sekaligus terpisah jarak sangat jauh! Beda soal kalau kita memang saling kenal, dan tinggal di satu kota, kamu tinggal ngomong, “Ntar malam ketemuan, yuk,” maka saya akan datang dengan mudah. 

Jadi, kalau kamu ingin saya menemuimu, hanya ada satu cara; jelaskan apa tujuan pertemuan itu. Selalu ingat bahwa kita sebenarnya tidak saling kenal—selain hanya tahu lewat internet—sekaligus terpisah jarak ratusan hingga ribuan kilometer. Jika saya harus menemuimu, artinya saya harus menempuh perjalanan jauh, meninggalkan rumah dan pekerjaan sampai beberapa hari. Saya bersedia melakukannya, tapi apa yang akan saya dapatkan?

Saya orang sederhana, yang menyukai hal-hal sederhana, termasuk dalam urusan seperti ini. Kalau kamu memang punya tujuan jelas, langsung katakan, dan buat saya tertarik, dan saya akan menemuimu. Tidak perlu basa-basi bertele-tele, atau main drama macam-macam. Percuma. Beberapa orang telah mencobanya, dan mereka semua gagal. Kalau tidak percaya, tanyakan pada, salah satunya, Puthut EA.

Sejak lama saya tahu Puthut EA ingin ketemu saya, tapi caranya salah. Andai dia mengatakannya secara langsung, dengan cara baik-baik dan to the point, hingga saya tertarik, saya akan menemuinya. Tapi dia malah main drama macam-macam, dari cara yang halus sampai yang kasar. Dan apakah dia berhasil? Tidak! Dia bahkan boleh bermimpi sampai mati jika masih mencoba melakukan hal sama.

Oh, saya telah memaafkan kebodohannya, dan semoga dia tidak terpikir mengulangi kebodohan serupa. Karena tidak ada maaf untuk kesalahan yang sama dua kali.

Jadi, kawan-kawan, biasakan untuk bersikap sederhana pada orang lain. Kalau kita memang punya kepentingan, langsung katakan secara jelas. Jika kita menyampaikannya dengan baik, dan kedua pihak sama-sama tertarik, pertemuan bukan perkara sulit. Jika kamu menawarkan sesuatu yang membuat saya senang dan tertarik, bahkan umpama kamu tinggal di Kutub Selatan pun saya akan datang.

Semudah dan sesederhana itu.

Related

Hoeda's Note 3617142056793780942

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item