Sulitnya Cari Kerja, Akhir-akhir Ini

Ilustrasi/batamnews.co.id
Sebenarnya, dari dulu cari kerja sudah sulit. Tapi mungkin tidak terekspos seperti sekarang, karena media sosial belum ada. Sebagai orang yang hanya lulusan SMA, saya tahu betul hal itu. Karenanya, ketika belakangan mendapati berita-berita di media sosial mengenai orang-orang yang sulit dapat kerja, saya merasa déjà vu.

Belum lama, misalnya, ada berita mengenai lowongan kerja di tempat penjualan seblak. Dan yang melamar banyak sekali, mencapai ratusan, rata-rata perempuan. Padahal itu lowongan kerja di warung seblak, yang tentunya hanya butuh satu dua pekerja. Tapi persaingan untuk mendapatkan pekerjaan itu sangat ketat.

Ada juga lowongan penjaga warung es teh, tapi syaratnya sulit sekaligus rumit. Harus lulusan S1, berpenampilan menarik, dan lain-lain. Saya benar-benar tidak paham mengapa lowongan penjaga warung es teh harus lulusan S1 atau sarjana. Lowongan semacam itu bukan hanya tidak rasional, tapi juga mengecilkan hati banyak orang (para pelamar kerja). Apa kabar mereka yang lulusan SMA atau bahkan SMP?

Kemudian ada pula berita tentang ojol wanita yang terpaksa mengubah penampilannya menjadi pria, gara-gara sering di-cancel pelanggan. Lalu ada dua perempuan belia yang juga terpaksa mengubah penampilan mereka jadi laki-laki demi bisa diterima kerja sebagai pembantu tukang bangunan. 

Semua itu hanya secuil realitas betapa sulitnya mencari kerja, khususnya akhir-akhir ini. Faktanya, lapangan kerja memang menyempit, sementara para pencari kerja semakin banyak. Kita pasti masih ingat tutupnya pabrik-pabrik besar, yang salah satunya pabrik sepatu dan sandal Bata. Tutupnya pabrik-pabrik itu artinya menambah jumlah pencari kerja, sekaligus mengurangi lapangan kerja.

Ini bahkan belum membicarakan artificial intelligence (AI) yang makin memperumit persoalan, karena AI dapat menggantikan tenaga-tenaga kerja manusia, bahkan jauh lebih efektif. Semuanya mengerucut pada satu masalah besar; pekerjaan makin sulit didapat, masa depan kian tak jelas. Wong untuk jadi penjaga warus es teh saja harus sarjana!

Saya terpikir menulis catatan ini, karena kebetulan sedang membantu teman untuk dapat kerja. Teman saya, bernama Apri, lulusan SMP. Dulu kami kerja bareng di pabrik batik. Belakangan saya keluar dari pabrik itu, sementara Apri masih kerja di sana. Setelah bertahun-tahun tidak ketemu, tempo hari kami ketemu tanpa sengaja, dan Apri kini kerja serabutan dengan kehidupan suram. Intinya, dia ingin kerja di tempat jelas, dengan penghasilan yang jelas.

Karena pendidikannya SMP, dan latar belakang pengalaman kerja Apri hanya sebatas di pabrik batik, saya pun mencoba menghubungi beberapa teman yang punya usaha batik atau yang bekerja di pabrik batik, siapa tahu ada lowongan untuk memasukkan Apri. Sayangnya, upaya yang saya pikir mudah itu ternyata tidak mudah-mudah amat.

Rata-rata teman yang punya usaha batik mengatakan, “Bisnis lagi sepi.” Mereka tidak berani menambah pekerja, karena pekerja lama pun kadang terpaksa libur ketika pekerjaan benar-benar tidak ada. 

Sementara teman-teman yang bekerja di pabrik batik rata-rata mengatakan akan menanyakannya ke majikan mereka, namun jawabannya juga sama. Bisnis lagi sepi. Belum bisa menerima pekerja baru. 

Belakangan, saya terpikir untuk mendatangi Kholid, yang juga bekerja di pabrik batik, sebagai kuli keceh. Siapa tahu di tempat kerja Kholid masih ada kesempatan untuk pekerja baru, meski sebagai kuli keceh. 

Dalam industri batik, khususnya di tempat tinggal saya, ada bagian pekerja yang disebut “kuli keceh”, yaitu pekerja yang menangani hal-hal basah atau bersentuhan dengan air. 

Pembuatan batik melewati proses panjang, dari kain putih hingga berisi aneka gambar batik, dan proses panjang itu melibatkan banyak pekerja di bagiannya masing-masing. Salah satunya kuli keceh tadi. Para kuli keceh bertugas mencuci kain-kain yang telah dibatik dan diwarnai, dan prosesnya tentu melibatkan banyak air. Makanya mereka saban hari “kecehan” (istilah Jawa untuk menyebut “berkubang air”). Dari hal itulah lalu muncul istilah “kuli keceh”.

Dulu, para kuli keceh benar-benar kecehan dalam arti harfiah, karena tangan dan kaki mereka langsung bersentuhan dengan air yang biasa membanjir di tempat pencucian. Tapi belakangan, para pekerja di bagian itu dibekali sarung tangan karet dan sepatu boot, untuk melindungi kulit mereka dari air yang mengandung obat batik.

Kholid adalah teman saya yang bekerja sebagai kuli keceh di pabrik batik. Dalam upaya membantu Apri untuk dapat kerja, saya pun menemui Kholid di rumahnya, malam hari, berharap pabrik tempat Kholid bekerja masih membuka kemungkinan untuk pekerja baru.

Malam itu Kholid menyambut saya dengan ramah, seperti biasa, lalu kami ngobrol di rumahnya sambil menyeruput teh dan menikmati udud. Saat saya tanya apakah pabrik tempatnya kerja ada lowongan, Kholid tampak ragu-ragu.

Saya bilang kepadanya, ada seorang teman yang lagi butuh kerja, dan punya pengalaman sebagai tukang gambar batik sebelumnya. 

Kholid menjawab ragu-ragu, “Kalau lowongan sebenarnya ada, tapi... ya di kasta terendah, jadi kuli keceh kayak aku.”

[Catatan: Di sebagian kalangan pekerja batik, kuli keceh kadang dianggap sebagai “kasta terendah”, mungkin karena pekerjaannya terkait pencucian batik, dan setiap hari berkubang dengan air yang bercampur obat batik. Sementara tukang gambar batik atau pekerja lain yang relatif “bersih”—karena tidak bersentuhan dengan air dan obat batik—dianggap sebagai “kasta lebih tinggi”.]

Saya bilang pada Kholid, “Nggak apa-apa, temanku mau kerja apa aja.”

“Termasuk jadi kuli keceh?” tanya Kholid memastikan.

“Iya,” saya menegaskan. 

Setelah terdiam sesaat, Kholid berkata ragu-ragu, “Aku tuh belakangan jadi nggak enak kalau ada orang tanya lowongan. Belum lama, ada tetangga yang tanya apakah ada lowongan buat anak perempuannya. Anak perempuan tetanggaku ini lulusan SMA, dan udah lama menganggur. Kebetulan di pabrik ada lowongan kerja ngelempit (melipat) batik. Itu kerjaan bersih, karena cuma melipat batik yang udah jadi, terus dimasukkan ke plastik untuk dikemas dalam kardus. Kerjanya juga di tempat bersih. Tapi aku malah dianggap menghina.”

Saya kaget. “Dianggap menghina gimana?”

Kholid menceritakan, “Aku dianggap menghina, karena menawarkan pekerjaan melipat batik buat anaknya. Padahal itu kerjaan yang bagus di pabrik, khususnya kalau dibandingkan aku yang kerja di tempat basah sebagai kuli keceh. Dia mungkin berharap anaknya dapat kerja sebagai manajer apa gimana. Sejak itu aku jadi bingung kalau ada orang tanya ada lowongan apa nggak. Karena bisa jadi, aku niatnya membantu, tapi malah dianggap menghina.”

“Terus anak tetanggamu itu sekarang kerja di mana?”

“Masih nganggur,” jawab Kholid. “Sekarang kan makin sulit cari lowongan kerja untuk lulusan SMA. Udah sulit, kadang persyaratan lainnya juga macam-macam.”

Saya mengatakan, “Temanku tadi, yang cari lowongan kerja, benar-benar mau kerja apa aja, termasuk jadi kuli keceh. Jadi kamu nggak perlu khawatir.”

“Ya bagus, lah, kalau gitu. Besok aku hubungi majikanku, kayaknya temanmu bisa langsung kerja. Biar nanti aku ajari, kalau masih bingung.”

Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Omong-omong, Lid, lowongan melipat batik tadi... apa masih tersedia? Biar aku juga ikut kerja di tempatmu.”

Kholid malah tertawa.

Related

Hoeda's Note 6568630254806669752

Posting Komentar

  1. sebentar, tetangga Kholid ini kebangetan menurutku, lulusan SMA minta jadi manajer? yang lulusan S1/S2 aja ga ujug2 jadi manajer loh. harus berpengalaman bertahun-tahun dulu di bidang yang sama.

    tapi emang cari kerja sekarang makin susah sih. apalagi beberapa hari lalu layoff besar2an dari Toped. pasti banyak pekerja yang sudah berpengalaman (PHK dari toped) ini yang bakal jadi saingan ngelamar kerja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya tetangga dia nggak bilang ingin jadi manajer, John. Cuma, ketika ditawari kerja melipat batik, ibunya malah menganggap Kholid menghina. Jadinya Kholid bingung dan bertanya-tanya, emang pekerjaan apa yang dia inginkan, wong lulusan SMA? Makanya Kholid jadi kepikiran, apa mungkin tetangganya berharap dapat pekerjaan semacam manajer? Meski mungkin konyol, hal semacam ini biasa terjadi di kalangan orang-orang yang kurang pengalaman. Menganggap lulusan SMA itu udah tinggi, jadi nggak pantes dapat kerja semacam melipat batik, penjaga toko, atau yang "remeh" lainnya.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item