Lelaki dalam Gerobak
https://www.belajarsampaimati.com/2024/09/lelaki-dalam-gerobak.html
Ilustrasi/pixabay.com |
Siang tadi, saat berhenti di perempatan jalan, menunggu lampu hijau menyala, tanpa sengaja saya mendapati sebuah gerobak di pinggir jalan, dan seorang lelaki berdiri di samping gerobak. Saya memfokuskan perhatian pada lelaki itu, berusaha mengingat wajahnya, dan angan saya melayang ke suatu malam bertahun-tahun lalu....
Bertahun-tahun lalu, pukul 02.00 dini hari, saya melangkah keluar dari stasiun, setelah melakukan perjalanan panjang. Di siang hari, atau setidaknya sampai jelang tengah malam, di sekitar gerbang stasiun biasanya ada banyak becak dan taksi yang siap mengantar orang-orang menuju rumah. Tapi waktu itu dini hari, dan gerbang stasiun tampak sepi. Orang-orang yang keluar dari stasiun sepertinya dijemput keluarganya masing-masing.
Di masa itu belum ada ojol atau ojek online. Jadi, saya pun akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki, sambil berharap ada becak atau taksi yang kebetulan lewat. Jarak stasiun ke rumah saya lumayan jauh. Untungnya, waktu itu saya tidak membawa barang apapun. Jadi saya bisa melangkah santai tanpa terbebani barang bawaan.
Dari gerbang stasiun, saya menyeberangi jalan raya, lalu melangkah perlahan di trotoar yang sepi. Malam itu cukup dingin. Sembari melangkah, saya bermaksud menyalakan rokok, tapi ternyata korek api tidak ada di saku. Mungkin terjatuh atau tertinggal di suatu tempat—entahlah. Tadinya korek api itu ada di saku hoodie yang saya kenakan. Akhirnya, untuk menghangatkan diri, saya memasang tudung hoodie ke kepala, dan terus melangkah.
Karena dini hari, jalan raya yang saya lewati sudah sepi. Hanya sesekali terlihat bus atau truk muatan yang lewat. Sementara di trotoar tidak tampak satu orang pun yang hidup. Ketika terus melangkah, saya sempat mendapati ada sebuah becak yang parkir di trotoar, rodanya terikat rantai dengan tiang listrik, sementara pemiliknya tampak tertidur meringkuk di becak, berselimut sarung. Mungkin si tukang becak sedang istirahat karena kelelahan.
Saya terus melangkah, menelusuri trotoar yang sepi. Jarak ke rumah saya masih jauh, dan saya mengutuki korek api yang hilang, hingga saya tidak bisa merokok.
Langkah saya sampai di trotoar yang lurus dan panjang, dengan lalu lintas yang makin sepi. Di sisi-sisi trotoar, beberapa kali saya melewati orang-orang yang tengah tertidur lelap, dengan tubuh merapat ke pintu besi toko. Itu pemandangan yang biasa terlihat di tengah malam. Ada orang-orang yang mungkin tidak punya tempat untuk pulang, dan mereka tidur di mana pun. Saya terus melangkah.
Beberapa meter di depan, saya melihat sebuah gerobak di trotoar. Saya terus melangkah, dan jarak saya dengan gerobak itu makin dekat. Tidak tampak ada orang di dekat gerobak itu. Tetapi, tepat ketika saya berhadapan dengan gerobak tersebut, muncul sebuah kepala dari dalam gerobak.
“Hah?” saya terkejut mendapati kepala tiba-tiba nongol.
Keterkejutan sama terdengar dari kepala yang muncul dari dalam gerobak. Kepala itu ternyata milik seorang lelaki, dan dia melihat saya dengan bingung. Setelah reda dari terkejutnya, dia berkata tergagap, “M-maaf, Mas, saya nggak tahu ada orang.”
Saya berdiri dengan bingung, menatap lelaki itu, yang masih ada dalam gerobak, dan kata yang lalu muncul dari mulut saya adalah, “Punya korek?”
Lelaki itu melihat ke dalam gerobak, lalu menyodorkan korek api. “Tapi rokoknya nggak ada,” ujarnya.
Saya menerima korek api itu, menyalakan sebatang rokok, lalu menyodorkan bungkus rokok serta korek api kepada lelaki dalam gerobak.
Dia menerima korek apinya, mengambil sebatang rokok, menyulutnya, lalu mengembalikan bungkus rokok pada saya.
“Sampeyan tidur di sini apa gimana?” tanya saya.
Dia keluar dari gerobak, lalu menjawab. “Biasanya saya tidur di trotoar. Tapi karena malam ini dingin, saya tidur di gerobak, biar lebih hangat. Ini saya terbangun, karena badan rasanya pegal.”
Gerobak itu memiliki panjang sekitar 1,5 meter, dan pasti agak sulit untuk digunakan tidur sepenuhnya. Lelaki itu pasti tidur dengan posisi duduk menyandar.
Dia bertanya, “Sampeyan dari mana?”
“Dari stasiun. Mau pulang, tapi udah nggak ada becak atau taksi.”
Kami lalu duduk bersisian di depan pintu besi toko. Dia menggelar terpal di trotoar, dan kami duduk di atasnya. Sambil menikmati rokok dan jalanan yang sepi, kami bercakap-cakap. Usia lelaki itu mungkin beberapa tahun lebih tua dari saya.
Seiring percakapan, saya bertanya, kenapa dia tidur di gerobak di trotoar, dan ceritanya mengalir panjang.
Sejak lahir, lelaki itu menceritakan, dia hidup bersama orang tuanya di rumah kakek-neneknya, karena keluarganya tidak punya rumah sendiri. Dia punya kakak lelaki, yang belakangan meninggal karena sakit. Dia juga punya adik perempuan, yang sekarang sudah menikah.
Awal mula dia hidup bersama gerobak adalah saat orang tuanya meninggal. Sebelumnya, kakek dan neneknya telah lama meninggal, dan keluarganya masih tinggal di rumah mereka. “Tapi setelah orang tua saya meninggal, para saudara ayah saya meminta hak waris rumah itu.”
Jadi, rumah itu lalu dijual. Hasilnya dibagikan kepada para ahli waris, “termasuk buat saya dan adik saya. Adik saya udah nikah, dan dia sama suaminya lalu ngontrak rumah. Sementara saya bingung mau ngapain. Uang yang saya terima dari warisan itu nggak seberapa, rasanya eman-eman kalau dipakai buat ngontrak rumah. Sementara waktu itu saya belum dapat kerja. Akhirnya saya terpikir untuk pakai uang warisan buat bikin gerobak, dan sejak itu saya bekerja jadi pemulung.”
Sejak itu, bersama gerobaknya, dia berkeliling ke sana kemari, memunguti apa saja dari tempat sampah, yang bisa dijual. Kardus-kardus yang terbuang, ember rusak, besi-besi yang teronggok di tempat sampah, dan apa saja yang bisa dijual di tempat rongsokan. Pagi sampai jelang sore, dia berkeliling, memulung sampah. Sore hari, dia bawa hasil memulungnya ke pengepul rongsok.
“Dari situ, saya bisa dapat uang untuk sekadar nyambung hidup,” ujarnya.
Saya bertanya, sejak kapan dia menjalani hidup bersama gerobaknya, dan dia menjawab, “Udah bertahun-tahun.” Lalu dia menyatakan, “Sebenarnya, saya ingin sekali dapat kerja yang jelas, biar dapat penghasilan yang cukup, tapi saya cuma lulusan SMP.”
Dini hari, bersama kepulan asap rokok, percakapan kami terus mengalir. Saya meregangkan tubuh dengan meluruskan dua kaki di atas trotoar dan menyandarkan punggung ke pintu besi toko, memandangi jalanan yang sepi.
Lelaki di sebelah saya tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat saya terkejut, “Udah lama sekali saya nggak ngobrol sama orang kayak gini.”
“Hah?”
Mendapati keterkejutan saya, dia menjelaskan, “Saban hari, saya cuma keliling ke sana kemari, sendirian, ngorek-ngorek sampah. Nggak ada orang yang saya kenal. Saya nggak bisa ngobrol dengan siapa pun. Kadang-kadang saya mampir ke kontrakan adik saya, tapi dia juga kelihatannya repot dengan anaknya yang masih kecil. Saya enggan mengunjungi famili-famili saya, karena khawatir kalau mereka nggak suka. Jadi, saban hari, saya benar-benar sendirian. Udah lama sekali saya nggak ngobrol panjang kayak gini.”
Saya mengangguk-angguk, memahami penjelasannya.
Ketika saya tanya, apakah dia selalu menetap (tidur) di tempat sama, dia menjawab, “Nggak mesti. Kadang di sini, kadang di tempat lain. Biasanya saya tidur kalau udah lelah, tapi tempatnya nggak pasti. Asal aman dan bisa ditempati, saya langsung gelar terpal, terus tidur di trotoar. Kalau kebetulan dingin atau pas hujan, saya tidur dalam gerobak.”
Jarum jam terus berdetak, dan percakapan kami terus mengalir. Tak terasa, sekitar dua jam saya bercakap-cakap dengan lelaki itu, di trotoar yang dingin, dan jam di tangan saya kini menunjukkan pukul 04.00 pagi. Mungkin percakapan itu masih akan terus mengalir, tapi kemudian muncul sebuah becak yang melaju perlahan-lahan di jalan. Saya bangkit dari terpal, lalu menghentikan becak. “Kosong, Pak?”
Tukang becak mengangguk semangat. Saya lalu pamitan pada lelaki teman ngobrol tadi, sambil meminjam korek apinya lagi untuk menyalakan rokok baru. Lalu saya tinggalkan korek apinya bersama bungkus rokok yang masih berisi separuh. Lelaki itu berdiri, mengantar kepergian saya. Lalu becak yang saya tumpangi mulai berjalan perlahan meninggalkannya.
Itu peristiwa bertahun-tahun lalu, dan sejak itu saya tidak pernah melihat lelaki itu bersama gerobaknya. Kadang-kadang, pas lewat di jalan yang sama, saya berusaha memperhatikan trotoar, siapa tahu melihatnya. Tapi saya tidak pernah melihatnya. Mungkin dia berhenti di tempat lain, tidur di tempat lain.
Lalu, siang tadi, saya tanpa sengaja melihat seorang lelaki berdiri di samping gerobak, di perempatan jalan yang ramai. Saya tidak yakin apakah itu lelaki sama yang dulu pernah saya temui bertahun-tahun lalu.
Saya masih memperhatikan wajah lelaki itu, berusaha mengingat-ingat, tapi kemudian lampu hijau di perempatan menyala, dan suara-suara klakson kendaraan dari belakang terdengar bersahutan tak sabar. Akhirnya, dengan berat hati, saya mulai melaju.