Utang, Hal Sepele tapi Bisa Merusak Kehidupan

Ilustrasi/tebuireng.online
Ada pepatah terkenal terkait utang, “Jika kamu meminjamkan uang pada temanmu, kamu akan kehilangan uang dan temanmu. Jika kamu meminjamkan uang pada saudaramu, kamu akan kehilangan uang dan saudaramu.”

Pepatah itu bagus, tapi juga pahit. Dan siapa pun yang pernah meminjamkan uang pada teman atau saudara, pasti akan memahaminya. Saya sendiri telah kehilangan beberapa teman hanya gara-gara utang, sementara beberapa teman saya merasa kehilangan saudara gara-gara hal yang sama.
 
Secara pribadi, saya selalu berusaha untuk tidak pernah berutang pada siapapun, dan saya bersyukur tidak punya utang pada siapa pun, serupiah pun. [Kalau-kalau ada orang yang merasa bahwa saya berutang sejumlah uang kepadanya, silakan temui saya, dan akan saya bayar sekarang juga.]

Saya penganut prinsip dalam lagu Rhoma Irama, “Walau makan sederhana, walau baju sederhana, asal sehat jiwa raga dan juga hutang tak punya, itulah orang yang kaya.” Tepat seperti itulah kehidupan yang saya jalani. Saya tidak masalah makan di warung kaki lima, tidak masalah pakai baju sederhana, asal sehat dan tidak punya utang, saya sudah merasa cukup. 

Sebagai manusia, saya memang kadang ingin membeli sesuatu yang menurut saya bagus, tapi uang tidak cukup. Saya tidak akan ngoyo sampai berutang. Biasanya, yang saya lakukan adalah berusaha mengumpulkan uang, sampai kemudian cukup untuk membeli sesuatu yang saya inginkan. Jadi, saya terbiasa membeli segala sesuatu secara cash. Saya menjauhi kredit, cicilan, angsuran, paylater, atau apa pun sebutannya. Intinya, saya tidak ingin punya utang! 

Dan saya merasakan kehidupan saya relatif tenang, karena tidak punya kekhawatiran terkait utang atau cicilan. Hidup sederhana tidak apa-apa, asal tidak dikejar-kejar tagihan atau pusing mikir utang. 

Tetapi, kita tahu, tidak semua orang menjalani kehidupan seperti itu. Ada orang-orang yang memilih berutang, entah untuk tujuan penting, mendesak, atau malah konsumtif. Tentu saja itu hak masing-masing orang. Sayangnya, urusan utang piutang ini kadang menimbulkan masalah, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam hubungan dengan orang lain.

Seperti yang dinyatakan pepatah tadi, “Jika kamu meminjamkan uang pada temanmu, kamu akan kehilangan uang dan temanmu.”

Selama bertahun-tahun, saya telah kehilangan beberapa teman gara-gara utang. Mereka berutang pada saya, dari beberapa puluh ribu sampai beberapa ratus ribu. Saya tidak enak menagih, dan, di sisi lain, mereka yang berutang itu mungkin juga tidak nyaman—karena belum bisa membayar utangnya atau karena takut ditagih—hingga seperti jaga jarak dengan saya. Lama-lama, hubungan kami merenggang, sampai akhirnya tidak pernah lagi berhubungan.

Sementara pada teman yang utangnya relatif besar, saya kadang mencoba “mengingatkan”, tapi sepertinya tidak ada itikad baik—entah memang belum punya uang, atau karena memang tidak bermaksud membayar utangnya. Yang jelas, hubungan kami juga merenggang. Karenanya benar kata pepatah itu, “Jika kamu meminjamkan uang pada temanmu, kamu akan kehilangan uang dan temanmu.”

Bagaimana dengan saudara? Teman saya punya kisah serupa, terkait utang piutang, namun dengan saudaranya. Jadi, teman saya punya adik yang—menurut dia—doyan berutang, pada orang-orang lain, termasuk juga pada kakaknya. 

Teman saya, sebagai kakak, tidak masalah meminjamkan uang kepada adiknya. Seiring waktu, utang itu semakin banyak, namun teman saya berusaha menahan diri. Pertama, pihak yang berutang adalah adiknya sendiri. Kedua, dia melihat kondisi hidup adiknya memang relatif pas-pasan.

Suatu waktu, si adik mendapat komisi sangat besar dari penjualan tanah yang diperantarainya. Dari komisi itu, dia bisa membeli mobil, hingga plesir ke luar kota bersama istri dan anaknya. Tetapi, yang ajaib, dia tidak membayar utangnya pada orang-orang, termasuk pada si kakak. 

Sejak itu, teman saya sadar kalau adiknya tidak punya itikad membayar utang. Dan kesadaran itu melukai perasaannya. Sejak itu pula, dia jadi mikir untuk tidak lagi memberi pinjaman uang ke adiknya.

Ada kisah lain terkait utang piutang, kali ini dengan sepupu. Teman saya punya sepupu, dan mereka berteman akrab ketika sama-sama susah. Selama berteman akrab itu, kadang teman saya meminjam uang pada sepupunya, dan di lain waktu si sepupu yang minjam uang kepadanya. Tidak ada masalah apapun; mereka saling utang, namun juga selalu membayar utangnya. Jumlah utangnya juga tidak seberapa, hanya sekitar Rp50 ribu sampai Rp100 ribu.

Sampai suatu waktu, sepupu teman saya merantau ke luar kota, dan kebetulan saat itu teman saya masih punya utang Rp100 ribu pada sepupunya. Belakangan, ketika dia akan membayar utangnya, si sepupu sudah hidup di tempat jauh—dia telah menetap di kota perantauannya. Teman saya berpikir, “Biarlah, nanti kalau ketemu, akan kubayar utangku.”

Selama bertahun-tahun sejak itu, mereka tidak pernah bertemu. Sampai suatu ketika, teman saya kebetulan ada acara di kota yang sekarang menjadi tempat tinggal sepupunya. Dengan itikad baik, dia menghubungi sepupunya, bermaksud untuk mampir, sekaligus mau membayar utangnya yang dulu. Si sepupu mempersilakannya datang.

Ketika akhirnya mereka bertemu, dia mendapati ternyata sepupunya telah jadi orang kaya-raya. Rumahnya mewah, dengan mobil-mobil mahal di garasi. Teman saya jadi ragu-ragu. Dia merasa pekewuh—tidak enak hati—jika menyatakan bahwa dia datang untuk membayar utang Rp100 ribu yang dulu ia pinjam. [Kalian bisa membayangkan sendiri bagaimana rasanya jika menempati posisi teman saya waktu itu.]

Akhirnya, teman saya memilih untuk tidak membahas utang yang dulu, dan berpikir kalau sepupunya mungkin sudah lupa. Tetapi, yang membuat teman saya kemudian sakit hati, sepupunya seperti khawatir kalau dia datang menemuinya untuk berutang. 

Teman saya mengisahkan, “Aku sangat tidak enak, waktu itu. Dia mengatakan hal-hal tertentu, yang intinya agar aku tidak meminjam uang kepadanya. Padahal aku sama sekali tidak bemaksud meminjam uang. Kedatanganku menemuinya justru karena bermaksud membayar utangku yang dulu. Kalau saja dia tidak sekaya itu, aku sudah menyodorkan uang seratus ribu yang dulu aku pinjam darinya...”

Sejak itu pula, teman saya sengaja “jaga jarak” dengan sepupunya. Karena dia khawatir kalau tampak mendekat lalu dikira mau berutang. Dia mengaku sedih atas hal itu, karena, “dulu kami sangat dekat, ketika sama-sama susah, tapi sekarang kami seperti orang asing.”

Kisah-kisah tadi tentu hanya segelintir dari masalah yang ditimbulkan oleh utang piutang, khususnya antarteman atau antarsaudara. Di luar sana, tentu ada banyak kisah lain serupa—pertemanan rusak, persaudaraan merenggang—gara-gara utang. Tentu saja itu menyedihkan, namun sayangnya hal sama masih terus terjadi di mana-mana.

Orang berutang biasanya karena terdesak kebutuhan, atau karena konsumtif. Orang yang terdesak kebutuhan, misalnya, butuh beli makan namun uang benar-benar tidak ada. Biasanya, orang semacam itu hanya berutang dalam jumlah secukupnya, yang penting bisa menutup kebutuhan. Kalau memang uang kita berlebih, tak perlu memberi utang atau pinjaman, berikan saja sejumlah uang kepadanya.

Sementara orang yang berutang karena konsumtif, sebenarnya dia tidak butuh berutang, namun tergoda oleh nafsu konsumtifnya. Misalnya lihat gadget keluaran baru, lalu berutang demi bisa membeli. Biasanya, orang semacam itu berutang dalam jumlah relatif besar, dan lama-lama seperti jadi “hobi”. Dikit-dikit utang, dikit-dikit utang. Berutang bukan karena kebutuhan, tapi karena hasrat konsumtif.

Di waktu-waktu tertentu, roda kehidupan kadang membawa kita ke bawah, hingga jatuh di titik nol. Saat itu, bisa jadi ada waktu-waktu ketika kita benar-benar tidak punya uang, hingga terpikir untuk berutang pada siapa pun yang sekiranya bisa dimintai tolong—misal teman atau saudara. 

Jika terpaksa berutang, selalu ingatlah utang itu, dan bersumpahlah pada diri sendiri untuk membayar utang tersebut, kapan pun punya uang untuk membayarnya. Karena ada banyak hal yang dipertaruhkan di situ; nama baik, kepercayaan, sampai hubungan dengan orang lain. Jangan sampai karena uang yang tidak seberapa, kita kehilangan teman atau saudara.

Terakhir, kalau boleh menyarankan. Setiap kali kita terpikir untuk berutang pada siapa pun—kepada sesama manusia atau kepada bank atau kepada pinjol—pikirkanlah pertanyaan ini, “Apakah aku akan mati jika tidak berutang?”

Jika jawabannya tidak, sebaiknya tidak usah berutang!

Related

Hoeda's Note 2055069808132155842

Posting Komentar

  1. aku pernah berutang, karena terpaksa waktu lahiran anakku yang ke-3
    biaya yang aku siapkan ternyata ga ke-cover karena ada extra tindakan gara2 ari2nya lengket dan harus dikuret (di luar ekspektasi)

    dan memang urusan utang ini bikin ga enak makan dan kerja
    sampe akhirnya, Alhamdulillah, setelah 3 bulanan dapat banyak pemasukan, dan bisa bayar utang
    lega rasanyaaaaa....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku sendiri bisa sampai pada kebiasaan "gak mau berutang", karena dulunya pernah ngerasain gimana gak enaknya punya utang, John. Dulu, waktu hidupku jatuh, aku nyoba berutang ke koperasi melalui tetanggaku yang kerja di sana. Belakangan aku kesulitan bayar cicilannya, dan gak enak banget sama tetanggaku. Setelah akhirnya kebayar, sejak itu aku benar-benar menjauhi utang sebisa mungkin.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item