Mengapa Gerobak Mi Ayam Berwarna Biru?

Ilustrasi/jurnaba.com
Meski ada gerobak mi ayam yang tidak berwarna (mempertahankan warna kayu), namun rata-rata gerobak mi ayam berwarna biru. Ciri khas itu pula yang membedakan gerobak mi ayam dengan gerobak bakso, misalnya. Warna biru khas itu juga tidak hanya ada di satu daerah tertentu, tapi mungkin di semua wilayah Indonesia. Ke mana pun kita pergi ke daerah mana pun, gerobak mi ayam rata-rata berwarna biru.

Sebagai penyuka mi ayam, saya bertanya-tanya, dan penasaran, mengapa dan bagaimana kesamaan itu bisa terjadi. Mengapa para penjual mi ayam mengecat gerobaknya dengan warna biru? Bumbu, sajian, maupun rasa mi ayam di satu tempat bisa berbeda dengan mi ayam di tempat lain. Tapi gerobak mereka sama, berwarna biru. Mengapa?

Didorong penasaran, saya menanyakan hal itu pada ratusan penjual mi ayam di mana pun, selama bertahun-tahun. Kapan pun dan di mana pun saya mendatangi warung mi ayam, saya akan bertanya pada penjualnya, mengapa gerobaknya dicat biru. 

Ajaib, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menjawab!

Tentu saja mereka mengajukan aneka jawaban [subjektif] saat ditanya tentang hal itu. Rata-rata menjawab dengan, “Menurut kabar...”, atau, “Dengar-dengar, sih...”, atau, “Kayaknya begini...”, atau, “Menurut saya...”, atau, “Bisa jadi seperti ini, Mas...” 

Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menjawab sesuai standar ilmu pengetahuan yang objektif, misalnya, “Asal usul gerobak mi ayam berwarna biru dimulai tahun sekian, oleh seseorang bernama Anu, yang tinggal di daerah Anu, karena alasannya bla-bla-bla...” [objektif, bisa ditelusuri, bisa diverifikasi, hingga bisa dijadikan pegangan, karena adanya validitas].

Selain bertanya langsung pada para penjual mi ayam, saya juga pernah berusaha melacak dan menelusuri urusan ini di internet. Menggunakan Google, saya mencari tahu alasan atau penyebab gerobak mi ayam berwarna biru. Ada sangat banyak artikel yang saya temukan, dan membahas hal tersebut, tapi semuanya tidak bisa memberi jawaban memuaskan. Jawabannya sebelas dua belas dengan keterangan para penjual mi ayam yang saya tanya—hanya berdasar asumsi yang jelas subjektif.

Setelah bertahun-tahun dan ratusan penjual mi ayam tidak ada yang bisa memberi jawaban memuaskan, bahkan internet juga tidak bisa menyuguhkan jawaban, saya jadi ingat pada salah satu kisah Nasruddin Hoja.

Mulla Nasruddin, begitu dia biasa disapa, adalah sosok pria nyentrik yang dipercaya sebagai wali di zamannya. Nasruddin kerap bertingkah aneh, mengatakan hal-hal absurd, tapi belakangan terungkap tingkah dan ucapannya mengandung hikmah, pelajaran, dan pesan-pesan yang sengaja disembunyikan.

Nasruddin Hoja memiliki keledai yang menemaninya ke mana pun. Suatu hari, di tengah perjalanan, keledai itu mati. Dengan sedih, Nasruddin menguburkan keledai itu dengan layak, lalu bersimpuh di dekat makam, mendoakan si keledai, dengan penuh kekhusyukan.

Ketika Nasruddin sedang khusyuk berdoa di makam keledai, ada seorang pria yang lewat, dan melihatnya. Diam-diam, pria itu memperhatikan Nasruddin dari kejauhan, dan berpikir, “Makam siapa kira-kira yang sampai membuat Mulla Nasruddin mendoakannya sekhusyuk itu?”

Lalu pria tadi berasumsi, “Bisa jadi, itu makam orang suci.”

Ketika Nasruddin Hoja selesai berdoa dan beranjak pergi, pria tadi mendekati makam, dan berdoa di sana dengan khusyuk. Dia benar-benar percaya bahwa makam yang ada di depannya adalah peristirahatan orang suci, sesuai asumsinya sendiri, dan sama sekali tak menyadari kalau itu makam keledai.

Saat dia sedang khusyuk berdoa di dekat makam, muncul serombongan orang yang lewat. Ketika melihat seorang pria sedang berdoa, mereka pun penasaran, dan bertanya itu makam siapa. Pria tadi menjelaskan bahwa dia tidak tahu itu makam siapa. Tetapi, “tadi Mulla Nasruddin berdoa dengan khusyuk di sini, jadi aku yakin ini makam orang suci.” 

Mendengar jawaban itu, serombongan orang memutuskan untuk ikut berdoa di sana, dengan kekhusyukan dan keyakinan bahwa mereka sedang berdoa di makam orang suci. 

Lalu rombongan itu mengabarkan ke orang-orang lain, tentang keberadaan “makam orang suci” di suatu tempat, dan orang-orang lain berdatangan ke sana, berdoa dengan khusyuk, sama seperti orang-orang sebelumnya, dan begitu seterusnya. Makin hari, orang-orang yang berdatangan untuk berdoa di makam itu semakin banyak.

Bertahun-tahun kemudian, Nasruddin Hoja kebetulan lewat di tempat itu bersama sahabatnya. Sesampai di makam keledainya dulu, Nasruddin mendapati ada banyak sekali orang berdesak-desakan di sekitar makam—sebegitu banyak, hingga Nasruddin dan sahabatnya kesulitan untuk lewat. 

Menyaksikan hal itu, Nasruddin Hoja tertawa terbahak-bahak. Sahabatnya bertanya dengan heran, “Kenapa kau malah tertawa melihat orang-orang menziarahi makam orang suci?”

“Itu bukan makam orang suci,” jawab Nasruddin, “itu makam keledai!”

Kisah itu, sebagaimana kisah-kisah lain seputar Nasruddin Hoja, mengandung pesan tersembunyi. Bahwa yang kita lakukan, bahkan dengan keyakinan sekhusyuk apa pun, bisa jadi, sebenarnya, berdasar hal yang keliru. 

Satu orang punya keyakinan tertentu (mengira Nasruddin berdoa di makam orang suci), lalu dia meniru tanpa benar-benar tahu, dan orang-orang lain mengikuti dan ikut meniru. Mereka semua yakin berdoa di makam orang suci, tanpa menyadari bahwa itu sebenarnya makam keledai.

Kisah itu juga memberi perspektif kepada saya mengenai asal usul gerobak mi ayam, yang rata-rata biru. Bisa jadi, orang pertama yang jualan mi ayam di Indonesia—entah siapa dan entah di mana—mewarnai gerobaknya dengan cat biru, apa pun alasannya. 

Bisa jadi, alasan dia menggunakan cat biru karena kebetulan hanya punya cat itu di rumah, bisa jadi pula karena kebetulan warna cat lain tidak menarik baginya. Apa pun alasannya, dia lalu mewarnai gerobak mi ayam miliknya dengan cat biru.

Lalu orang lain melihat gerobak biru itu. Ketika ingin berjualan mi ayam serupa, dia pun mewarnai gerobaknya dengan cat biru. Alasannya bukan karena apa pun, selain karena gerobak mi ayam yang pernah dilihatnya berwarna biru. Lalu orang lain lagi—yang juga akan berjualan mi ayam—melakukan hal sama, meniru gerobak-gerobak sebelumnya, dan mewarnainya dengan cat biru.

Bertahun-tahun kemudian, ada jutaan penjual mi ayam yang tersebar di Indonesia, di berbagai daerah, dan hampir semua gerobaknya berwarna biru... dan tidak ada yang bisa menjelaskan asal usul warna itu.

Betapa ajaibnya hidup, kalau dipikir-pikir, dan betapa ajaibnya manusia. Kehidupan kita hari ini bisa jadi hasil peniruan kehidupan orang-orang sebelumnya. Kebiasaan kita hari ini bisa jadi hasil duplikasi kebiasaan orang-orang sebelumnya. Kebudayaan kita hari ini bisa jadi hasil ciptaan orang-orang sebelumnya. Bahkan keyakinan kita hari ini... bisa jadi hasil keyakinan orang-orang sebelumnya.

Di titik kesadaran semacam itulah, kita membutuhkan para ilmuwan, orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk mencari, menelusuri, memeriksa, dan meneliti, segala sesuatu yang saat ini ada dalam kehidupan manusia. Tujuannya tentu agar kita benar-benar tahu, dan dapat menjalani hidup lebih baik, dengan penuh kesadaran.

Urusan gerobak mi ayam mungkin tak terlalu penting—mau dicat biru atau ungu atau jingga, kita tidak peduli—asal tetap bisa menyantap mi ayam dengan nikmat. Tapi kehidupan kita tidak sebatas warna gerobak mi ayam. Kita menghadapi aneka hal; peristiwa alam, kebudayaan, tradisi, kebiasaan masyarakat, sampai sistem keyakinan. Sebagai makhluk berakal, kita butuh tahu—benar-benar tahu—hal-hal itu, agar bisa menghadapi dan menjalaninya dengan baik.

Di masa lalu, misalnya, gempa bumi dianggap sebagai “amukan dari dasar neraka”. Orang-orang kuno, karena pengetahuannya masih sangat terbatas, belum tahu lempeng bumi dan semacamnya. Karenanya, ketika bumi mengalami guncangan dahsyat, gempa, mereka menyimpulkan berdasar kemampuan berpikir di zamannya, “Oh, pasti ada makhluk di dasar neraka yang sedang mengamuk.”

“Pengetahuan” itu, meski mungkin terdengar konyol, melahirkan implikasi yang mengerikan, khususnya dalam kehidupan manusia.

Karena gempa bumi hanya terjadi di tempat-tempat tertentu, yang memang rentan terjadi gesekan lempeng bumi, orang-orang di zaman kuno pun bertanya-tanya, “Kenapa di tempat ini kadang dilanda gempa, tapi di tempat lain tidak?”

Karena dasar pengetahuan mereka keliru—mengira ada makhluk neraka sedang mengamuk—kesimpulan yang diperoleh pun sama keliru. Alih-alih menujukan pandangan pada bumi, mereka menujukan pandangan pada manusia yang hidup di atasnya. Mereka memperhatikan “perbedaan” manusia yang hidup di tempat yang dilanda gempa, dan manusia yang hidup di tempat yang tak pernah dilanda gempa. 

Jika kebetulan ada orang di tempat gempa yang minum minuman keras, misalnya, kenyataan itu bisa saja ditarik untuk menghasilkan kesimpulan, “Ooh, tempat itu dilanda gempa karena orang-orang di sana minum-minuman keras...” 

Padahal, belakangan kita tahu, tidak ada hubungan minuman keras dengan gempa bumi, karena itu dua hal yang jelas berbeda. Tapi karena pengetahuan orang di zaman dulu belum semodern pengetahuan kita, mereka tidak/belum tahu, dan menyimpulkannya berdasarkan pengetahuan zamannya. Premis keliru menghasilkan kesimpulan yang sama keliru.

Yang jadi masalah adalah... pengetahuan di zaman dulu belum tentu relevan di zaman sekarang, bahkan bisa jadi menyimpang jauh. Seperti penyebab gempa bumi. 

Sekarang, kita tahu apa penyebab gempa, yaitu karena adanya pergerakan lempeng bumi. Karena kita tahu penyebabnya, kita pun bisa mempelajari di tempat mana saja yang rawan gempa—karena adanya pergerakan lempeng bumi—dan melakukan antisipasi. Kita menujukan pandangan ke bumi, bukan ke manusia yang tinggal di sana! Ini jelas berbeda seratus delapan puluh derajat dari yang dilakukan orang-orang zaman kuno.

Kalau kita tinggal di tempat yang rawan gempa, mau minum alkohol atau tidak ya tetap bakal kena gempa, wong memang penyebabnya bukan alkohol! Ini mungkin terdengar konyol, tapi tidak bagi orang-orang zaman kuno. Dan itulah fungsi penting ilmu pengetahuan; untuk membedakan kita yang hidup di masa sekarang, dengan para leluhur kita di zaman kuno.

“Tapi sains tidak bisa menjelaskan segala hal...”

Memang! Dan kenyataannya, sains tidak pernah menjanjikan akan menjelaskan segala hal. Sebenarnya, sains bahkan tidak menjanjikan apa pun, selain hanya mengungkap hal-hal yang semula tersembunyi, membuka banyak hal yang semula tertutup, menyalakan cahaya di tempat-tempat yang semula gelap. 

Sains tidak menjanjikan apa pun, selain hanya menunjukkan. Mau percaya atau tidak, itu hak setiap orang—tidak ada paksaan apalagi ancaman. Sains bahkan tidak pernah mengklaim sebagai kebenaran tunggal, karenanya ia selalu terbuka pada ralat, kritik, atau bahkan penghapusan/penggantian. Dalam kehidupan manusia, sains lebih rendah hati, dibanding keyakinan yang tak boleh dikritik.

Jadi, omong-omong, kenapa gerobak mi ayam rata-rata berwarna biru?

Related

Hoeda's Note 8811462288373834532

Posting Komentar

  1. aku pikir, aku bakal menemukan jawaban yang memuaskan hehe

    tapi emang sih, di Surabaya rata2 warna biru, untuk mie ayam yang dijajakan keliling

    tapi untuk yang diam di tempat/rumah, bervariasi

    BalasHapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item