Mengapa Orang Tionghoa Enggan Disebut Cina?

Mengapa Orang Tionghoa Enggan Disebut Cina?
Ilustrasi/galena.co.id
Di antara banyak suku di Indonesia—atau juga di negara lain—salah satunya adalah suku/etnis Tionghoa. Seperti suku-suku lain yang punya ciri-ciri tertentu, suku Tionghoa juga memiliki ciri-ciri yang mudah dikenali. Yang paling umum tentu warna kulit mereka yang terang, dan mata yang cenderung sipit.

Di Indonesia, ada banyak WNI keturunan Tionghoa, dan bisa jadi tinggal bersama di lingkungan kita sebagai tetangga. Mereka, dan orang-orang Tionghoa lain mana pun di Indonesia, rata-rata enggan atau tidak nyaman jika disebut Cina/China. Di sisi lain, banyak orang di luar Tionghoa yang belum mengetahui atau menyadari hal itu, dan kadang keceplosan menyebut mereka “Cina”.

Mengapa orang-orang Tionghoa enggan atau tidak nyaman disebut Cina?

Sebenarnya, jawabannya sederhana. Cina atau China adalah nama negara, sementara Tionghoa adalah nama suku. Menyebut seseorang sebagai “orang Cina” atau “orang Tionghoa” memiliki arti yang jauh berbeda.

Kalau kita menyebut “orang Cina”, ucapan itu seperti memberi tahu bahwa “dia warga negara Cina”. Padahal belum tentu begitu, karena bisa jadi orang yang kita sebut “orang Cina” itu sejak lahir sampai sekarang tinggal di Indonesia, dan belum pernah sekalipun melihat negara Cina.

Ada banyak sekali orang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia, tumbuh besar di Indonesia, bersekolah/kuliah di Indonesia, dan bekerja mencari nafkah di Indonesia. Karena warga negara Indonesia, mereka pun memegang KTP Indonesia, mematuhi aturan hukum negara Indonesia, dan hidup layaknya orang Indonesia. Dan, bisa jadi, mereka pun kelak meninggal serta dimakamkan di Indonesia.

Orang-orang itu keturunan Tionghoa, tapi warga negara Indonesia. Jika kita menyebut mereka “orang Cina”, jelas mereka tidak nyaman! Karena, sekali lagi, Cina adalah nama negara, bukan nama etnis atau suku.

Karenanya, lebih tepat menyebut mereka sebagai “orang Tionghoa”, yaitu orang yang bersuku Tionghoa atau keturunan Tionghoa. 

Tionghoa adalah satu di antara banyak suku lain di Indonesia, seperti Jawa, Batak, Sunda, Minang, Dayak, dan lain-lain. Kita tidak masalah disebut “orang Jawa”, “orang Sunda”, “orang Minang”, dan seterusnya, karena memang itu suku kita, atau kita memang keturunan dari suku tersebut. Begitu pula orang dari suku Tionghoa. Mereka tidak masalah disebut “orang Tionghoa”, dan memang begitulah penyebutan yang tepat untuk mereka.

Sebutan “Cina” dan “Tionghoa” di Indonesia memang kerap bercampur akibat kekurangpahaman, dan nyatanya memang, sepertinya, belum banyak orang Indonesia yang menyadari kenyataan ini; bahwa Cina adalah nama negara, sementara Tionghoa adalah nama suku.

Di sisi lain, ada orang-orang Tionghoa yang bisa memaklumi “kekacauan” penyebutan tersebut—karena menyadari banyak orang Indonesia yang memang belum paham—meski ada pula orang-orang Tionghoa yang jelas menunjukkan keengganan atau sikap tidak nyaman. PR kita bersama, sepertinya, memasyarakatkan penyebutan yang tepat, agar orang-orang semakin memahami bahwa “Cina” dan “Tionghoa” adalah dua hal yang berbeda.

Jika kita masih kesulitan memahami hal ini, bayangkan ilustrasi berikut.

Kakek dan nenek kita orang Indonesia, berasal dari suku Jawa, tapi memutuskan hidup di Inggris, dan menjadi warga negara Inggris. Ketika kakek dan nenek kita punya anak-anak—yang salah satunya menjadi orang tua kita—mereka tetap tinggal di Inggris, dan anak-anak mereka pun berkewarganegaraan Inggris. Ketika kita akhirnya lahir, secara otomatis kita pun jadi warga negara Inggris... meski tampilan fisik kita mungkin masih seperti orang Jawa.

Kita lahir di Inggris, tumbuh besar di Inggris, sekolah dan kuliah di Inggris, bekerja dan mencari nafkah di Inggris, berteman dan bertetangga di Inggris, bahkan sampai mati pun mungkin tetap di Inggris. Belum pernah sekali pun kita melihat negara leluhur kita (Indonesia), dan bisa jadi sampai seumur hidup kita tidak pernah menyaksikannya. Intinya, kita telah menjadi warga Inggris, dan merasa sebagai bagian dari Inggris.

Jika sewaktu-waktu ada orang lain—misal tetangga kampung kita di Inggris—menyebut kita, “Orang Jawa, ya?”, kita merasa baik-baik saja, karena nyatanya kita memang berasal dari suku Jawa, yang menitis dari darah kakek-nenek kita. Tak peduli tinggal di Inggris dan menjadi warga negara di sana, kita mengakui bahwa kita berasal dari suku Jawa, tepatnya suku Jawa dari Indonesia. Kita bisa melepaskan identitas negara, tapi tidak bisa melepaskan identitas suku.

Tetapi, jika tetangga kita mengatakan, “Orang Indonesia, ya?”, kemungkian besar kita tidak nyaman. Karena Indonesia dan Jawa adalah dua hal yang berbeda. Indonesia adalah nama negara, sementara Jawa adalah nama suku. Menyebut kita sebagai “orang Indonesia” padahal nyata-nyata orang Inggris, sama artinya menyebut kita “imigran” atau “sebatas tamu”, padahal kita lahir dan tumbuh besar di sana, dan telah menjadi warga negara yang sah.

Kira-kira seperti itulah yang dialami atau dirasakan warga Tionghoa yang lahir dan hidup di Indonesia. Jika kita menyebut mereka “orang Tionghoa”, mereka tidak masalah, karena nyatanya itu suku mereka, dan mereka mewarisi darah serta identitas dari suku tersebut—sama seperti kita mewarisi darah dan identitas Jawa, Sunda, Batak, Dayak, atau lainnya.

Tetapi kalau kita menyebut mereka “orang Cina”, kemungkinan besar mereka tidak nyaman, karena penyebutan itu memang tidak tepat, seperti mencerabut kewarganegaraan Indonesia mereka, dan menganggap mereka sebatas imigran. Padahal mereka lahir di Indonesia, dan bisa jadi seumur hidup tetap di Indonesia.

Karenanya, terkait hal ini, ada baiknya kita mulai membiasakan diri menyebut “Tionghoa”, alih-alih Cina. Selain lebih tepat, penyebutan itu juga lebih aman, khususnya dalam interaksi dan kehidupan sosial. 

Sebagian orang Tionghoa memang tidak mempermasalahkan hal ini, dan mereka tidak peduli mau disebut “Cina” atau “Tionghoa” atau bahkan “Tiongkok”. Beberapa dari mereka bahkan kadang blak-blakan menyebut dirinya “orang Cina”—biasanya dalam konteks bercanda—tapi biarlah mereka sendiri yang melakukan.

Ernest Prakasa, sebagai misal, kerap menyebut dirinya atau bahkan keluarganya, sebagai “orang Cina”, dan dia biasa menggunakannya sebagai bahan bercanda. Tidak apa-apa, karena dia yang melakukan (sebagai bagian dari etnis Tionghoa). Tapi jika kita tidak/bukan beretnis Tionghoa, menjadikan “orang Cina” sebagai bahan bercanda bisa menimbulkan masalah.

Jangankan menjadikannya sebagai bahan bercanda, bahkan salah sebut dalam konteks serius pun bisa menimbulkan masalah. Belum lama, Bobby Nasution (menantu Presiden Jokowi), berkampanye di Medan, dalam rangka pemilu pilkada. Dalam salah satu orasinya di acara debat publik, Bobby menyebut “Cina sebagai salah satu etnis yang ada di Kota Medan”. Dia mengatakannya dengan serius, dan hal itu terjadi, kemungkinan, karena memang tidak tahu perbedaan Cina dengan Tionghoa.

Atas hal itu, Agus Salim, Ketua Solidaritas Indonesia Tionghoa Demokrat (Solid) Kota Medan, menanggapi dengan tidak nyaman. Kepada media, dia mengatakan, “Saya secara pribadi, sebagai etnis Tionghoa, merasa sangat tersakiti dengan adanya kata-kata ‘Cina’.”

Dalam konteks Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2014, ada undang-undang khusus terkait hal ini, bahwa “Cina sudah diganti dengan Tionghoa”. Karenanya, Agus Salim menambahkan, “Dengan dikatakan ‘Cina’ lagi, kita merasa didiskriminasi kembali.”

Meski mungkin tidak ada hukum spesifik yang tertulis, berinteraksi dengan orang lain sebenarnya upaya menghormati identitas mereka. Hubungan, interaksi dan komunikasi akan berjalan baik, selama kita masih tetap menghormati identitas tersebut.

Hmm... ada yang mau mengoreksi, atau mungkin menambahkan?

Related

Umum 2794840834029295007

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item