Apa yang Terasa Murah Saat Miskin, tapi Mahal ketika Kaya?

Ilustrasi/daarulfikrimalang.ach.id
Ini mungkin seperti tebak-tebakan menarik. Apa yang terasa murah ketika kita miskin, tapi justru terasa mahal ketika kita kaya?

Tebak-tebakan itu kedengarannya seperti terbalik. Karena, kalau kita perhatikan, banyak hal yang justru terasa mahal ketika kita miskin (tidak punya uang), dan jadi terasa murah ketika kita kaya (banyak uang).   

Mari ambil contoh yang mudah. Makanan, misalnya. Atau pakaian. Ketika miskin, tak punya uang, ingin menikmati makanan enak rasanya mahal sekali. Masuk ke restoran agak mewah sudah membuat ketar-ketir, karena berpikir, “Apa uangku cukup?” Sebaliknya, ketika kaya dan banyak uang, makanan enak jadi terasa murah. Mau masuk restoran mana pun, kita pede saja.

Begitu pun pakaian, atau barang-barang lain. Ketika tak punya uang atau miskin, mau beli pakaian yang sedikit mahal, rasanya eman-eman. Karena uang yang ada lebih baik digunakan untuk hal-hal yang lebih penting. Sebaliknya, ketika kaya dan banyak uang, membeli pakaian mahal jadi terasa biasa saja, bahkan bisa jadi kita akan menganggapnya murah.

Jadi, kembali pada tebak-tebakan tadi, apa yang terasa murah ketika miskin, dan terasa mahal ketika kaya?

Jawabannya waktu.

Ini mungkin terkesan kasar, tapi mari kita sama-sama belajar. 

Orang yang mendapat penghasilan Rp3 juta per bulan tentu berbeda dengan orang yang mendapat penghasilan Rp300 juta per bulan. Tidak hanya berbeda dalam gaya hidup, tapi mereka juga biasanya berbeda dalam menggunakan waktunya.

Ketika mendapat penghasilan Rp3 juta per bulan, kita mungkin tidak terlalu menghargai waktu kita. Misalnya, kalau sewaktu-waktu malas kerja, atau kebetulan ingin bersenang-senang, kita mengajukan cuti, atau malah libur begitu saja tanpa izin. Kita merasa enteng melakukan hal semacam itu, karena “taruhannya” Rp3 juta per bulan. Kalau pun sampai dipecat, kita mungkin bisa berpikir, “Gampang, tinggal cari tempat kerja lain yang ngasih gaji sama.”

Tapi ketika kita mendapat penghasilan Rp300 juta per bulan, kita akan jauh berhati-hati dalam menggunakan waktu. Bahkan ketika sakit pun, kita akan berusaha untuk tetap berangkat kerja, karena “taruhannya” Rp300 juta. Semakin besar penghasilan yang diperoleh, orang biasanya akan semakin hati-hati mengelola waktunya, khususnya untuk bekerja.

Ilustrasi di atas mungkin kurang masuk ke inti persoalan. Jadi, mari gunakan ilustrasi lain yang lebih mengena. Kali ini bukan pekerja kantoran, tapi pekerja lepas.

Andaikan kita pekerja lepas yang mendapat penghasilan Rp100 ribu per hari. Dengan penghasilan sejumlah itu, kita mungkin enteng saja libur sewaktu-waktu, atau membuang-buang waktu tanpa guna, karena “taruhannya” Rp100 ribu per hari. Waktu terasa murah.

Tapi kalau kita pekerja lepas dengan penghasilan Rp10 juta per hari, pola pikir kita akan berbeda. Membuang-buang waktu tanpa guna sehari, artinya kehilangan Rp10 juta. Waktu jadi terasa mahal.

And then, itulah sesuatu yang terasa murah ketika miskin, tapi justru terasa mahal ketika kaya. Waktu. Semakin tinggi penghasilan seseorang, biasanya dia akan makin selektif dan berhati-hati menggunakan waktu, karena menyadari nilainya yang luar biasa. Faktanya, kebanyakan orang kaya memang tidak punya banyak waktu untuk dibuang-buang. 

Sebenarnya, bagi orang miskin atau orang kaya, waktu sama-sama berharga dan sama-sama mahal. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari kenyataan itu. Banyak orang membuang-buang waktu tanpa guna, untuk hal-hal tak bermanfaat, lalu kehilangan banyak waktu yang berharga.

Related

Hoeda's Note 5456753503715658114

Posting Komentar

  1. betul, sekarang aku merasakannya :D
    banyak hal yang ingin aku kerjakan, tapi waktunya terbatas

    BalasHapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item