Manusia Silver Tertunduk Lesu di Pinggir Jalan

Ilustrasi/suarasukabumi.id
Manusia silver adalah sebutan untuk orang-orang yang mengecat atau mewarnai sekujur tubuhnya dengan zat pewarna, hingga berwarna perak atau silver. Mereka sering tampak di perempatan jalan, biasanya sambil membawa kotak, dengan harapan mendapat uang dari para pengendara di jalan yang sedang berhenti karena lampu merah.

Konon, asal usul manusia silver berasal dari upaya penggalangan dana. Di luar negeri, beberapa orang mewarnai tubuh mereka dengan warna perak, untuk menarik perhatian orang-orang. Mereka melakukan hal itu untuk menggalang dana, dengan tujuan yang biasanya bersifat sosial. Belakangan, banyak orang mengikuti cara itu, namun bertujuan mencari uang untuk kepentingan pribadi. Semacam pengamen, tapi tanpa alat musik.

Fenomena manusia silver marak di Indonesia, dan mungkin ada di setiap kota. Seperti yang disebut tadi, kebanyakan manusia silver muncul di perempatan lampu merah, meski kadang ada pula di tempat-tempat keramaian lain. Beberapa kali, saya membaca berita penangkapan manusia silver oleh Satpol PP, tapi orang-orang bertubuh perak itu sepertinya selalu ada.

Mengapa di mana-mana muncul manusia silver?

Dalam perspektif sederhana, kita bisa mengatakan bahwa mencari kerja di masa sekarang makin sulit. Sekadar jadi karyawan saja, butuh ijazah pendidikan tinggi, dan itu pun harus bersaing dengan banyak orang lain. Lapangan kerja yang tersedia, dengan orang-orang yang butuh kerja, tidak seimbang. Akibatnya, banyak orang yang tidak bekerja, padahal mereka butuh melanjutkan hidup. Dan melanjutkan hidup membutuhkan uang, dan uang diperoleh dengan cara kerja.

Selain bekerja sebagai karyawan, kita sebenarnya bisa menghasilkan uang dengan kerja mandiri, atau berwiraswasta. Tapi kerja mandiri artinya menghasilkan karya yang bisa dijual untuk mendapatkan uang. Dan itu membutuhkan skill, kemampuan, atau bahkan bakat yang tidak setiap orang bisa. Sementara berwiraswasta membutuhkan modal, juga aneka pengetahuan lain yang mendukung praktik wirasawasta yang akan dijalani. Dan tidak setiap orang punya modal yang dibutuhkan.

Di tengah impitan realitas semacam itu, sebagian orang terpaksa menempuh cara ekstrem—mengecat tubuh dengan warna silver, lalu muncul di perempatan jalan. Keberadaan mereka mengganggu masyarakat, kata Satpol PP, juga kata sebagian orang. Mungkin memang begitu. Dan kehidupan nyatanya bisa kejam.

Mewarnai tubuh dengan zat pewarna—seperti yang dilakukan manusia silver—sebenarnya bukan tanpa risiko. Para pakar kesehatan telah mengingatkan bahwa hal itu bisa berdampak pada kesehatan si manusia silver, karena bagaimana pun zat kimia pada pewarna bisa meresap ke dalam pori-pori kulit, dan apa saja bisa terjadi. Tapi mungkin para manusia silver tidak tahu risiko itu. Atau mungkin pula mereka tahu, tapi sadar hanya itulah yang mereka mampu.

Jadi, mereka pun mewarnai tubuh dengan zat pewarna, hingga mengilap seperti perak, di bawah terik matahari. Mereka menyodorkan kotak kardus di perempatan-perempatan jalan, berharap ada orang-orang iba yang mau membagi kelebihan rezeki. Demi bisa menyambung hidup, hari ini—entah besok. Perkara kelak akan terkena masalah kesehatan akibat zat pewarna yang digunakan, bisa dipikir nanti.

Di bawah tekanan kemiskinan, orang sering kali berpikir pendek. Mereka tidak punya waktu untuk memikirkan besok, karena seluruh energi dan pikiran mereka habis digunakan untuk memikirkan hari ini. Mereka tidak tertarik pada dampak jangka panjang, efek kesehatan, atau tetek bengek semacamnya. Mereka hanya tertarik pada bagaimana cara bisa makan dan melanjutkan hidup. Dan besok biarlah besok.

Pola pikir semacam itu tentu berbeda dengan orang-orang kalangan menengah, atau bahkan orang-orang kaya. Orang-orang dari kalangan menengah punya waktu untuk healing, staycation, atau setidaknya libur akhir pekan dari rutinitas pekerjaan, sambil berpikir menjaga kesehatan agar bisa terus bekerja dengan baik. Sementara orang-orang kaya menyiapkan asuransi, dari asuransi kesehatan sampai asuransi pendidikan anak-anak.

Dunia bisa begitu kejam, dan hidup bisa tidak adil. Sebagian orang menghasilkan uang sangat banyak hanya dari pekerjaan ringan yang bisa dilakukan dalam waktu singkat, sementara sebagian lain harus susah payah demi mendapat receh yang tak seberapa.

Kita tentu bisa mengatakan, “Makanya sekolah, makanya kuliah! Biar punya masa depan!” 

Kita mungkin lupa untuk menyadari bahwa sekolah dan kuliah kadang menjadi privilese yang tak dimiliki semua orang, akibat keadaan mereka. Anak-anak terpaksa putus sekolah karena kondisi ekonomi. Anak-anak lain tak bisa kuliah karena ketiadaan biaya, dan lain-lain. Sementara orang-orang berpendidikan, yang telah lulus sekolah dan kuliah, menjadi pengangguran di mana-mana.

Manusia silver adalah fenomena sosial yang mungkin memang meresahkan, dan keberadaan mereka juga menempatkan kita dalam posisi serbasalah. Jika kita memberi uang pada mereka, kita bisa dianggap “melestarikan” keberadaan manusia silver. Karena uang yang mereka dapatkan dari orang-orang akan membuat mereka meneruskan “pekerjaan” itu, bahkan menarik orang-orang lain untuk mengikuti cara yang sama dan menjadi manusia silver.

Sementara, jika kita tidak memberi uang pada mereka, kadang terpikir, “Bagaimana kalau mereka benar-benar butuh uang sekadar untuk bisa makan?” Siapa pun tentu bisa berpikir seperti itu, dan siapa pun bisa tersentuh hatinya untuk kemudian berbagi uang tak seberapa. Apalagi jika manusia silver yang kita temui masih anak-anak.

Terkait hal tersebut, Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, pernah menyatakan dalam sebuah wawancara media, “Ini (fenomena manusia silver) sangat memprihatinkan. Ini salah satu bentuk ketidakmampuan negara memenuhi hak anak. Harus dilihat di situ, [karena] ini tidak berdiri sendiri. Anak-anak itu korban dari keluarga yang mengalami permasalahan ekonomi yang tidak ditanggulangi oleh negara, sehingga muncul masalah sosial seperti pengamen, manusia silver, dan sebagainya.”

Mungkin tidak ada anak-anak yang bercita-cita menjadi manusia silver. Mungkin pula tidak ada orang dewasa yang rela mengecat sekujur tubuhnya dengan zat pewarna, jika tidak terpaksa. Mereka melakukan itu, menjadi manusia silver, karena pilihan yang ada hanyalah mereka mau melakukannya... atau kelaparan. Karena pendidikan tidak didapatkan, karena pekerjaan sulit diperoleh, karena kemampuan tidak ada. 

Dan kemarin, di Twitter, saya mendapati video yang memperlihatkan seorang bocah dengan tubuh silver tertunduk lesu di pinggir jalan, sementara di depannya para pengendara motor dan mobil berhenti karena lampu rumah. Manusia silver yang masih remaja itu mungkin lelah, mungkin kelaparan, atau mungkin sakit, hingga tak ada lagi daya untuk sekadar berdiri, dan melangkah, dan mengangsurkan kotaknya pada orang-orang. 

Semoga ia tak kehilangan harapan. 

Related

Hoeda's Note 52460404908469956

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item