Siapakah Tuhan, dan Mengapa Dia Menciptakan Manusia?

Siapakah Tuhan, dan Mengapa Dia Menciptakan Manusia?
Ilustrasi/science.com
Anak kecil memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, karenanya mereka senang bertanya, dan mempertanyakan apa saja. Seperti video yang viral beberapa waktu lalu di Twitter. Dalam video, ada anak perempuan kecil yang bertanya pada ibunya, “Siapakah yang menurunkan hujan?”

Mungkin, waktu itu, hujan sedang turun, dan si anak penasaran menyaksikan air turun dari langit. Karenanya, dia bertanya pada ibunya, siapakah yang menurunkan hujan. Sang ibu, sebagaimana yang tampak di video, menjawab bahwa yang menurunkan hujan adalah Allah.

Si ibu, bisa jadi, berpikir jawaban itu akan “membungkam” pertanyaan anaknya, dan dia tidak akan bertanya-tanya lagi. Sayangnya, si anak masih bertanya, “Apakah Allah tidak capek menurunkan hujan?”

Dengan sabar, si ibu menjelaskan, “Allah itu Maha Kuasa, jadi Dia tidak capek.”

Pertanyaan masih berlanjut, dan berputar pada “keheranan” atau rasa penasaran si anak tentang Allah, yang mungkin sulit ia pahami dengan kapasitas otaknya yang memang belum matang.

Video yang saya saksikan—yang viral di Twitter—hanya berdurasi singkat, dan penonton video itu tidak tahu bagaimana akhir percakapan antara ibu dan anak kecilnya tersebut. Entah pertanyaan apa saja yang kemudian dilontarkan si anak, dan entah jawaban apa saja yang disampaikan oleh si ibu.

Dari video itu, saya berpikir, apa jadinya jika kelak saya punya anak kecil yang sama-sama suka bertanya, dan mempertanyakan segala sesuatu? Kira-kira, bagaimana saya harus menjawabnya dengan cara yang tepat? 

Seperti kita tahu, menjelaskan sesuatu kepada anak kecil sering kali lebih sulit dibanding menjelaskan sesuatu kepada orang dewasa. Karena otak anak kecil belum berfungsi optimal, beda dengan orang dewasa yang “mudah paham”.

Dalam bayangan saya, setelah menyaksikan video tadi, kira-kira apa yang harus saya katakan, andai kelak anak saya bertanya, “Siapakah Tuhan, yang sering kita sebut-sebut? Dan kenapa Tuhan menciptakan manusia?”

Pertanyaan itu bisa saja terlontar dari anak saya, jika saya terus menerus menyebut Tuhan untuk menjawab setiap pertanyaannya. Misalnya, anak saya bertanya siapa yang menurunkan hujan, dan saya menjawab, “Tuhan.” Anak saya bertanya, siapa yang mendatangkan banjir, dan saya menjawab, “Tuhan.” Apa pun pertanyaan anak saya, jawaban saya selalu sama, “Tuhan.”

Sebagai orang tua, mungkin saya berpikir bahwa menjadikan Tuhan sebagai jawaban untuk setiap pertanyaan bisa jadi akan mendekatkan anak pada Tuhan—ini tentu harapan umum orang tua, khususnya yang memang menginginkan anak yang “salih dan salihah, berbakti pada orang tua, agama, nusa dan bangsa”.

Tetapi, saya pikir, menjawab dengan “cara menggampangkan”—dengan menjadikan Tuhan sebagai jawaban untuk segala pertanyaan—justru bisa menimbulkan masalah yang tak terduga. Karena daya pikir anak belum mampu menjangkau sesuatu yang gaib seperti Tuhan, dan dia akan terus bertanya dan bertanya.

Sayangnya, semakin anak bertanya tentang Tuhan, kita mungkin akan semakin kebingungan, hingga tanpa sadar akan menjawab pertanyaannya secara “ngawur”, atau—dalam skala ekstrem—berusaha membungkam pertanyaannya dengan melarang dia bertanya. Akibatnya, kita berharap anak kita lebih dekat dengan Tuhan, tapi yang terjadi justru ia makin kebingungan.

Dalam perspektif saya, jauh lebih mudah dan lebih baik menjawab pertanyaan anak dengan jawaban yang konkrit—bukan langsung menyandarkannya pada Tuhan yang gaib. Misalnya, saat anak kita bertanya, “Siapakah yang menurunkan hujan?”

Ketika menghadapi pertanyaan seperti itu, akan lebih baik dan lebih mudah jika kita meralat pertanyaannya terlebih dulu, “Bukan siapa, Nak, tapi mengapa. Pertanyaanmu seharusnya ‘mengapa turun hujan’?”

Cara seperti itu secara tak langsung akan memberi tahu anak kita, mengenai bagaimana mengajukan pertanyaan secara tepat, hingga kita bisa menjawabnya secara tepat pula—dan bukan malah kebingungan (tentu dengan catatan, kita rajin belajar, hingga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan anak dengan cara yang tepat dan mudah ia pahami).

Setelah pertanyaannya diralat, mungkin anak kita akan mengulang pertanyaannya, “Baiklah, mengapa turun hujan?”

Setelah pertanyaannya diubah jadi “mengapa”, kita akan mudah menjawab, karena memang jawabannya tersedia di mana-mana (sekali lagi, dengan catatan, kita rajin belajar). Menjelaskan “mengapa hujan turun” itu sangat mudah, bahkan kepada anak kecil sekali pun, dan kita tidak perlu mengarang-ngarang jawaban yang hasil akhirnya malah gelap dan gaib, yang sulit dicerna anak kecil.

Misal, kita bisa menjelaskan dengan cara mudah seperti ini, “Ada air di mana-mana di bumi—di sungai, di laut, di danau, dan di tempat-tempat lain. Saat musim kemarau, dan matahari bersinar sangat terik, air di tempat-tempat itu akan surut karena menguap, akibat panas. Air yang menguap tadi akan terkumpul di angkasa, dan memadat menjadi awan. Saat awan sudah sangat berat karena banyak air di dalamnya, ia akan pecah, dan hujan pun turun.”

Meski tidak detail, jawaban sederhana itu benar, dan bisa dipahami anak kecil. Mungkin dia akan melanjutkan pertanyaan, “Lalu mengapa terjadi banjir?”

Kita bisa menjawabnya dengan sama mudah, dengan jawaban yang sama sederhana, misal, “Air hujan yang turun tadi, sebenarnya akan kembali ke tempat-tempat asalnya—ke laut, ke sungai, ke danau, dan ke tempat-tempat lain. Agar air bisa kembali ke tempat asalnya dengan mudah, tentu harus ada saluran yang bisa mengalirkannya. Karena itulah kita membangun got, selokan, dan semacamnya, yang ditujukan untuk mengalirkan air hujan, agar mudah mengalir ke tempat-tempat asal. Sayangnya, kita kadang membuang sampah sembarangan, hingga menutup saluran-saluran air. Akibatnya, air tidak lancar mengalir, dan malah membeludak, hingga terjadi banjir.”

Anak kecil akan lebih mudah memahami jawaban sederhana seperti itu, daripada kalau kita menjawab, “Banjir didatangkan oleh Tuhan!”

Jawaban sederhana tadi tidak hanya mudah dipahami, namun juga menanamkan pelajaran pada ingatan anak, agar tidak membuang sampah sembarangan, karena perilaku yang tampak sepele itu bisa mendatangkan bencana. Dengan pemahaman yang ditanamkan sejak dini seperti itu, anak akan terbiasa melihat tanggung jawab, bukan malah mempertanyakan apalagi menyalahkan Tuhan ketika bencana datang.

Karena anak kecil selalu tertarik pada segala hal, dia pasti akan bertanya dan terus bertanya, bahkan umpama kita telah menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang tepat dan sederhana, hingga ia benar-benar paham. Semakin kita mampu menjawab pertanyaannya dengan memuaskan, dia akan lebih sering bertanya, karena aktivitas itu menyenangkan imajinasinya.

Tapi itu justru bagus! Selain menunjukkan bahwa dia punya rasa ingin tahu, pertanyaan-pertanyaan anak juga akan memacu kita lebih rajin belajar, agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya secara tepat.

Saya kadang membayangkan. Kelak, jika punya anak, saya akan menjadikan aktivitas semacam itu—menjawab pertanyaan-pertanyaan anak—sebagai rutinitas sebelum tidur. Jika anak saya ingin mendengar cerita, saya akan bercerita untuknya, sampai dia terlelap. Jika anak saya ingin menanyakan sesuatu, saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara sederhana dan menyenangkan. Dan jika pertanyaannya tidak kunjung habis, karena dia semakin tertarik, saya akan berkata kepadanya, “Kenapa tidak kita lanjutkan besok malam saja?”

Jika saya menemani anak tidur setiap malam, sejak dia berusia 4 sampai 7 tahun, dan menjawab dua pertanyaan saja setiap malam, artinya saya telah menjawab 2.920 pertanyaan yang dia ajukan. Itu melampaui jumlah SKS yang saya tempuh selama kuliah!

Dan bisa jadi, kebiasaan setiap malam itu akan terus berlanjut ketika ia mulai tumbuh remaja, meski saya tidak lagi menemaninya tidur. Dalam bayangan ideal saya, kami akan sering mengobrol secara akrab—sebagai ayah dan anak—dan membicarakan hal-hal menyenangkan. Tentang alam, tentang manusia, tentang ilmu pengetahuan, hingga tentang Tuhan.

Bisa jadi pula, ketika telah dewasa, dia akan mengajukan pertanyaan yang saya tahu akan membuat saya kebingungan, “Ayah, siapakah sebenarnya Tuhan, dan mengapa Dia menciptakan manusia?”

Ketika akhirnya dia tiba pada “puncak pertanyaan” itu, mungkin saya akan menjawab, “Akhirnya kau sampai pada pertanyaan itu, Nak. Sayangnya, aku tidak bisa memberi jawaban yang akan memuaskanmu seperti biasa. Aku telah memikirkan pertanyaan itu sejak masih seusiamu, tapi belum juga menemukan jawabannya. Oh, tentu saja aku bisa menjawab pertanyaanmu secara dogmatis, bahwa Tuhan itu begini atau begitu. Tapi aku tahu, bukan jawaban seperti itu yang ingin kaudengar. Jadi, bagaimana kalau kau mulai memikirkan dan mencari jawabannya sendiri? Siapa tahu, anakmu kelak akan mengajukan pertanyaan itu kepadamu, dan kau akan bisa menjawabnya.”

Related

Hoeda's Note 299528690323089325

Posting Komentar

  1. Anakku yang pertama, umur 6 tahun, juga pernah menanyakan seperti itu

    Siapa Alloh?
    Di mana Alloh?
    Di mana Surga, di mana Neraka?
    Malaikat itu seperti apa?
    Kenapa ada muslim dan tidak muslim?
    Apakah dia muslim, tapi kenapa tidak begini dan begitu?
    Aku lahir dari mana?
    Adik di perut bagaimana cara makannya?
    Dan banyak pertanyaan2 absurd lainnya

    Aku sih oke2 saja, aku jelasin sampe dia paham atau agak paham. Lama? Lama banget, wong sekalinya dijawab menimbulkan pertanyaan baru lagi. Hehe.

    Yang penting menjawabnya jujur dan sesuai fakta. Jangan kayak orang tua zaman dulu yang kebanyakan akal2an (bohong), akhirnya malah anak ga percaya dengan orang tuanya.

    BalasHapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item