Siapakah Voltaire?

Voltaire, Belajar Sampai Mati, belajarsampaimati.com, hoeda manis

Voltaire adalah penulis dan filsuf Prancis di Era Pencerahan. Nama aslinya François-Marie Arouet, sementara Voltaire adalah nama pena yang ia gunakan sebagai penanda untuk tulisan-tulisannya.

Sebagai penulis, Voltaire bisa dibilang menulis hampir semua hal yang bisa ditulis; buku, syair, esai, drama, surat, dan berbagai catatan lain, yang sebagian besar berbicara tentang kebebasan sipil, hak asasi manusia, termasuk kebebasan dalam beragama.

Sementara sebagai filsuf, Voltaire merupakan pemikir paling kontroversial pada zamannya, dengan perspektif-perspektif tajam yang mengobrak-abrik kejumudan dan keyakinan masyarakat Prancis. Dia merupakan tokoh paling berpengaruh di Era Pencerahan, bahkan bisa dibilang dialah yang melahirkan era itu. Tidak ada tokoh lain yang memiliki peran begitu besar seperti yang dilakukan Voltaire di zamannya, terkait peralihan dari Era Kegelapan ke Era Pencerahan.

Sebegitu besar pengaruh Voltaire pada masanya, sampai para bangsawan Prancis di masa itu merasa terancam dan harus mengusir Voltaire dari Prancis.

Lahir pada 21 November 1694 di Paris, Prancis, Voltaire berasal dari keluarga menengah. Mengikuti ayahnya yang ahli hukum, Voltaire juga sempat belajar ilmu hukum, namun kemudian ditinggalkannya.

Sedari remaja, Voltaire sudah terkenal cerdas dan humoris. Sifat humorisnya itu belakangan menimbulkan masalah, karena dia kerap melontarkan humor satire yang menyinggung pemerintah Prancis masa itu. Pada 1716, Voltaire bahkan dijebloskan ke penjara Bastille, akibat kesukaannya menyindir pemerintah melalui humor satire.

Selama setahun, Voltaire berada dalam penjara. Selama berada di penjara itu pula, Voltaire mulai mengasah bakatnya dalam menulis. Dia mengisi waktunya dengan menulis banyak syair, drama, esai, dan banyak hal lain yang ingin ia tulis.

Pada 1718, sekitar setahun setelah bebas dari penjara, naskah drama karya Voltaire, Odipe, dipentaskan di Paris, dan sukses besar. Waktu itu, usia Voltaire 24 tahun, dan dia mulai menjadi orang terkenal di Paris. Sejak itu, Voltaire seperti memulai babak baru sebagai tokoh besar dalam bidang kesusastraan, yang belakangan menempatkannya sebagai pemikir paling frontal di Prancis.

Karena kesuksesan drama-dramanya yang dipentaskan, Voltaire pun kaya-raya. Dan karena pemikiran-pemikirannya yang cerdas, Voltaire menjadi orang yang fasih berbicara. Yang jadi masalah, bagaimana pun, Voltaire berasal dari kalangan rakyat biasa, bukan bangsawan. Pada masa itu, posisi seseorang sangat ditentukan oleh statusnya, dan kalangan rakyat biasa seperti Voltaire harus menunjukkan hormat pada kaum aristokrat yang kastanya lebih tinggi.

Sayangnya, Voltaire kesulitan mempraktikkan budaya feodal semacam itu. Karena terbiasa berbicara apa adanya, bahkan cenderung frontal, Voltaire menghadapi masalah ketika berinteraksi dengan kalangan bangsawan.

Pada 1726, misalnya, Voltaire berdebat dengan seorang aristokrat bernama Chevalier de Rohan. Mestinya, berdasarkan tata krama di masanya, Voltaire mengalah meskipun sebenarnya argumentasinya benar, demi menyelamatkan muka si bangsawan. Tapi dasar frontal, Voltaire terus memojokkan de Rohan, hingga bangsawan itu benar-benar tidak bisa mendebat argumen Voltaire.

Voltaire menang debat, waktu itu, tapi de Rohan mendendam. Dia menjebloskan Voltaire ke penjara Bastille. Belakangan, karena pengaruhnya, Voltaire dibebaskan dari penjara, tapi diminta pergi meninggalkan Prancis.

Voltaire pun meninggalkan Prancis, menyeberang ke Inggris, dan tinggal di sana selama dua tahun lebih. Di Inggris, Voltaire belajar berbicara sekaligus menulis dalam bahasa Inggris. Melalui kemampuannya dalam bahasa Inggris pula, Voltaire bisa mempelajari karya-karya besar tokoh Inggris seperti John Locke, Francis Bacon, Isaac Newton, hingga William Shakespeare. Dia juga berkenalan secara pribadi dengan sebagian besar pemikir Inggris masa itu.

Terkait Inggris, ada tiga hal yang membuat Voltaire sangat terkesan. Pertama adalah karya-karya Shakespeare, kedua adalah ilmu pengetahuan ala Inggris yang sangat mementingkan empirisme (perlunya percobaan secara praktik dan tidak hanya sekadar teori), dan ketiga adalah sistem politik Inggris yang demokratis dan tidak membeda-bedakan kalangan (antara bangsawan dan rakyat biasa).

Sistem demokrasi dan kebebasan pribadi yang dijunjung di Inggris, membuka mata Voltaire bahwa negerinya, Prancis, memang bermasalah.

Di Inggris, Voltaire bisa berbicara sefrontal apa pun, dan tidak ada bangsawan yang bisa menjebloskannya ke penjara. Bahkan kalau pun dia ditangkap semena-mena, selalu ada upaya pembebasan yang akan mengeluarkannya dari penjara. Kenyataan itu jelas berbeda dengan di Prancis, tempat siapa pun bisa melakukan apa pun hanya karena punya darah bangsawan.

Setelah sekitar 2,5 tahun berada di Inggris, Voltaire kembali ke Prancis—dengan amunisi yang siap ia ledakkan di negerinya. Di Prancis, Voltaire menulis karya filsafatnya yang pertama, berjudul Lettres philosophiques (lebih populer disebut Letters on the English). Buku itu terbit pada 1735, dan merupakan tanda dimulainya Era Pencerahan di Prancis.

Dalam Letters on the English, Voltaire menuliskan pemikiran-pemikirannya mengenai demokrasi, gambaran ideal sistem politik Inggris, dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran John Locke serta pemikir-pemikir Inggris lainnya. Seperti yang sudah diduganya sendiri, karya itu seketika menciptakan kehebohan yang berpotensi memicu revolusi, dan para penguasa Prancis sekali lagi mengusir Voltaire dari Paris—sebelum revolusi benar-benar terjadi.

Terusir dari Paris, Voltaire menyepi di Cirey, sebuah kota di utara Prancis, dan menghabiskan 15 tahun di sana. Di Cirey pula, Voltaire menjalin hubungan dengan Madame du Chatelet, seorang wanita cerdas dan berpendidikan. Hubungan antara Voltaire dengan wanita itu bukan pernikahan, selain sekadar suka sama suka karena bisa “nyambung kalau ngobrol”.

Pada 1740, Madame du Chatelet meninggal dunia. Setahun kemudian, Voltaire pergi ke Jerman, atas undangan Frederick Yang Agung dari Prusia. Selama tiga tahun berikutnya, Voltaire menetap di kediaman Frederick di Potsdam. Semula, mereka cocok, karena Frederick juga seorang intelektual yang brilian. Namun, pada 1753, mereka bertengkar, dan Voltaire lalu meninggalkan Jerman.

Setelah meninggalkan Jerman, Voltaire menetap di sebuah perkebunan dekat Jenewa, Swiss. Di sana, Voltaire terus aktif menulis dan menyampaikan pemikiran-pemikirannya yang liberal. Atas hal itu pula, pemerintah Swiss terusik, dan memandang keberadaan Voltaire di Jenewa sebagai ancaman. Belakangan, Voltaire diminta pergi dari sana.

Voltaire lalu pindah ke sebuah perkebunan di Ferney, yang terletak di dekat perbatasan Perancis-Swiss, pada 1758. Di sana dia tinggal selama 20 tahun, dan menenggelamkan diri dalam banyak karya kesusatraan serta filsafat, dan menjalin hubungan lewat surat dengan tokoh-tokoh intelektual dari seluruh Eropa. Di tempat itu pula, Voltaire menerima tamu-tamunya.

Masa-masa di Ferney bisa dibilang sebagai masa-masa paling produktif dalam kehidupan Voltaire. Karya-karyanya terus mengalir tanpa henti, dan dia dikenal memiliki gaya menulis yang memikat, hingga mampu menarik semua kalangan pembaca.

Konon, total buku yang dihasilkannya mencapai 2.000 judul, sedangkan jumlah surat yang pernah ditulisnya (untuk berkorespondensi dengan tokoh-tokoh intelektual Eropa) mencapai 20.000 buah. Sementara tulisan-tulisan lepasnya, seperti syair, esai, pamflet, novel, cerpen, drama, dan lain-lain, saat dikumpulkan mencapai 30.000 halaman lebih.

Dari begitu banyak karya yang ia tulis, hal penting yang sangat menonjol dari pemikiran-pemikiran Voltaire adalah kebebasan individu dan hak asasi manusia; sesuatu yang terus direpresi oleh pemerintah Prancis yang aristokrat.

Dalam sistem pemerintahan Prancis, kebebasan individu bisa dibilang tidak ada, karena kebebasan setiap orang (rakyat) ditentukan oleh kalangan bangsawan. Hak asasi manusia juga tidak diakui di masa itu, karena hak asasi menempati posisi lebih rendah dibanding doktrin agama. Latar belakang ini pula yang menjadikan Voltaire sangat vokal sekaligus frontal saat melawan kesewenang-wenangan kaum bangsawan, sekaligus berupaya meruntuhkan dominasi dan doktrinasi agama.

Voltaire menyatakan, dia percaya kepada Tuhan, tapi tidak mengakui agama. Secara frontal, dia bahkan mengatakan bahwa sumber segala kejahatan dan bencana kemanusiaan di dunia adalah agama yang terorganisir. Karena doktrin agama menciptakan fanatisme dan kejumudan berpikir, sesuatu yang bertolak belakang dari pemikiran Voltaire yang menganggap penting empirisme (sesuatu yang berdasar realitas).

Voltaire menganggap agama sebagai sesuatu yang menakutkan, bahkan menjadi antitesis kemanusiaan, karena agama—khususnya di zaman itu—kerap menjadi sarana untuk melanggar hak asasi manusia, menghilangkan kebebasan individu, sekaligus menguntungkan segelintir pihak.

Meski tidak setuju pada doktrin agama, serta menyatakan dirinya tidak mengakui agama, Voltaire tetap menjunjung tinggi kebebasan individu dan hak asasi manusia. Karenanya, dia tidak mempersoalkan siapa pun memeluk agama apa pun, selama masing-masing pemeluk agama bertoleransi pada pemeluk agama lain. Kenyataan inilah yang mendasari kalimat terkenal Voltaire, “Aku tidak setuju pendapatmu, tapi aku akan membela hakmu untuk menyatakan pendapat itu.”

Konsistensi Voltaire pada sikap dan pemikirannya benar-benar teruji, ketika terjadi perang agama di Prancis, antara pemeluk Katolik dan pemeluk Protestan. Waktu itu, terjadi pengejaran terhadap orang-orang Protestan di Prancis, seperti umumnya yang terjadi antara mayoritas dan minoritas. Peristiwa itu terjadi ketika Voltaire berusia 60 tahun, dan dia marah besar terhadap peristiwa tersebut.

Voltaire menyadari, peristiwa perang antaragama itu bukan berdasar salah dan benar, melainkan berdasar doktrin. Karenanya, kebenaran dan kesalahan dalam hal itu bisa sangat subjektif, sebab latarnya cuma fanatisme, bukan pikiran terbuka pada empirisme. Karena hal itu pula, Voltaire menerjunkan dirinya ke dalam peperangan—bukan untuk membela Katolik atau Protestan, tapi untuk membela kebebasan individu dan hak asasi manusia.

Pada masa itu, di tengah perang agama yang berkecamuk, Voltaire terus aktif berkirim surat dengan para pemikir di seluruh Eropa, yang perhatiannya juga terbetot pada perang yang sedang terjadi, dan Voltaire selalu mengakhiri surat-suratnya dengan kata-kata, “Ecrasez l’infame” (Ganyang barang terkutuk itu!). Yang ia maksud “barang terkutuk” adalah kejumudan dan fanatisme.

Pada 1778, kondisi Prancis sudah jauh berubah sejak ditinggalkan Voltaire sekian tahun sebelumnya, dan Voltaire memutuskan untuk kembali ke Paris.

Kembalinya Voltaire ke Paris terkait dengan drama karyanya, Irene, yang waktu itu akan dipentaskan. Ketika Voltaire mulai melangkah masuk ke Paris, publik di sana menyambutnya dengan suka cita, karena menyaksikan seorang pria yang telah mengubah Prancis begitu banyak. Mereka berteriak, “Hidup jago tua! Hidup tokoh pembaruan Prancis!”

Voltaire menghabiskan hari-hari terakhirnya di Paris, dan setiap hari dia menyambut tamu serta para pengagum yang tak henti berdatangan, salah satunya Benjamin Franklin.

Pada 30 Mei 1778, Voltaire meninggal dunia dalam usia 83 tahun. Karena penentangannya terjadap gereja, Voltaire tidak memperoleh pemakaman secara Kristen. Namun, tiga belas tahun kemudian, kaum revolusioner Prancis—yang akhirnya berhasil menumbangkan aristokrasi—menggali makamnya, dan menguburkannya kembali di Pantheon, Paris.

Saat ini, Voltaire mungkin bukan penulis populer yang buku-bukunya masih dibaca banyak orang. Meski begitu, dia tokoh tak tergantikan di Era Pencerahan Prancis, yang membawa pengaruh begitu besar, khususnya dalam hal kebebasan individu dan hak asasi manusia—dua hal yang meruntuhkan sistem pemerintahan Prancis yang sebelumnya aristokratis.

Selain tidak setuju pada “agama terorganisir”, Voltaire juga tidak percaya pada gelar-gelar keningratan Prancis, yang, menurutnya, “tidak menjamin kelebihan mutu”. Lebih jauh, ia juga mengatakan, “Pada dasarnya, setiap orang sebenarnya memahami bahwa sesuatu yang disebut ‘hak-hak suci Raja’ hanyalah omong-kosong!”

Dengan pemikiran semacam itu, kebanyakan pengikutnya adalah pendukung sistem demokrasi. Meski, sebenarnya, Voltaire tidak mempersoalkan sistem kekuasaan berbentuk kerajaan, selama sistem itu mengalami pembaruan demi pembaruan yang berdasarkan gagasan dan kemampuan, bukan kekuasaan yang diperoleh berdasarkan garis keturunan. Pada 1789, ketika pecah revolusi di Prancis, sekali lagi pemikiran dan gagasan Voltaire menemukan momentum.

Secara keseluruhan, melihat begitu banyak kiprah dan karyanya, Voltaire sebenarnya kurang tepat jika disebut filsuf. Dia seorang pembelajar tangguh yang kemampuannya tidak terbatas pada filsafat atau politik atau agama, melainkan juga pada bidang-bidang lain, termasuk sejarah. Bahkan, salah satu karyanya yang dianggap sangat cemerlang adalah buku sejarah dunia, berjudul Essay on the Manners and Spirit of Nations.

Buku sejarah yang ditulis Voltaire memiliki sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada di buku-buku sejarah lain. Pertama, buku sejarah Voltaire mengakui bahwa Eropa hanyalah bagian kecil dari dunia secara keseluruhan, karena itu dia menitikberatkan sebagian pengamatannya pada sejarah Asia.

Kedua, Voltaire menganggap bahwa sejarah kebudayaan umumnya jauh lebih penting daripada sejarah politik. Karenanya, dia menjadikan bukunya lebih berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan perkembangan seni, daripada soal raja-raja dengan segala kuasa dan peperangannya.

Di atas semua itu, Voltaire menjadi tokoh paling berpengaruh di zamannya, karena beberapa hal. Pertama, kemampuannya dalam menulis yang bisa dinikmati siapa pun. Meski di masa itu juga ada tokoh-tokoh penting lain yang juga aktif menulis dan ikut berpengaruh pada Era Pencerahan Prancis, Voltaire tetap dianggap pemuka dari semua penulis lainnya.

Kedua, kariernya sangat panjang, dan selama bertahun-tahun dia terus gigih menyuarakan gagasan-gagasannya, menuliskan pemikiran-pemikirannya, yang semuanya menuju pembaruan dan pencerahan.

Melalui tulisan-tulisan Voltaire, lebih dari siapa pun, ide demokrasi, toleransi agama, dan kebebasan intelektual, berkembang di seluruh Eropa. Karya-karyanya tersebar dan terbaca luas selama abad ke-18, dan karena itu Voltaire memegang peranan penting mengubah iklim pendapat umum, yang belakangan berpuncak pada meletusnya Revolusi Perancis.

Pengaruh Voltaire juga tidak terbatas di Prancis atau Eropa. Tokoh-tokoh Amerika, seperti Thomas Jefferson, James Madison, hingga Benjamin Franklin, juga akrab dengan tulisan-tulisannya. Voltaire adalah juru bicara Zaman Pencerahan, lewat tulisan-tulisannya yang terpublikasi dengan baik, dan mendapatkan sambutan serta pengakuan luas.

Hmm... ada yang mau menambahkan?

Related

Tokoh 6567481407281483636

Posting Komentar

  1. masukkan dari saya tolong ditambahkan kesimpulan yang berisi khusus pemikiran2 voltaire, setelah membaca artikel ini saya bingung untuk menyimpulkan pemikiran2 voltaire sendiri. terimakasih banyak materinya yang sangat bermanfaat sehat dan sukses selalu.

    BalasHapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item