Apa yang Diajarkan Panjat Pinang kepada Kita?

Apa yang Diajarkan Panjat Pinang kepada Kita? Belajar Sampai Mati, belajarsampaimati.com, hoeda manis
Ilustrasi/suara.com
Panjat pinang sering menjadi lomba yang digelar banyak daerah di Indonesia, setiap hari kemerdekaan 17 Agustus. Lomba ini menarik, sekaligus meriah, karena ketegangannya. Batang pinang berdiri tegak di tengah lapangan, licin karena dilumuri oli, dan di ujung batang pinang terdapat aneka hadiah. Peserta lomba harus bahu membahu untuk mencapai hadiah tersebut, dan prosesnya bisa sangat sulit.

Bahu membahu dalam urusan memanjat batang pinang bermakna harfiah. Seseorang menyediakan bahunya untuk jadi pijakan kaki orang lain, dan orang lain itu lalu memberikan bahunya untuk orang lain lagi, dan begitu seterusnya.

Urusan injak bahu tentu bukan perkara ringan, karena orang yang diinjak bahunya harus menahan bobot penginjaknya. Semakin banyak orang yang naik, semakin berat pula beban di bahu yang harus ditanggung.

Selama ini, panjat pinang sering diartikan dengan “nilai-nilai nasionalis”, bahwa dengan cara itulah para pahlawan Indonesia bisa membebaskan negeri ini dari penjajahan—saling bekerja sama, bahu membahu, hingga akhirnya bisa mencapai kemerdekaan yang disimbolkan dengan hadiah di ujung batang pinang.

Tapi itu tentu hanya satu pelajaran, kalau memang kita ingin mengambil pelajaran dari lomba panjat pinang. Bahkan, berdasarkan sejarah, panjat pinang sebenarnya memiliki makna yang justru bertolak belakang dengan “pelajaran” yang sekarang kita terima; bahwa lomba itu menyimbolkan perjuangan para pahlawan.

Berdasarkan sejarah, lomba panjang pinang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, bahkan orang Indonesia mengenal lomba itu dari orang-orang Belanda. Di Batavia—yang belakangan berubah menjadi Jakarta—orang Belanda mengadakan lomba tersebut setiap 31 Agustus, untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda masa itu. Sebutannya bukan lomba panjat pinang, tapi “de Klimmast”, yang artinya “memanjat tiang”.

Sama seperti di zaman sekarang, batang pinang berdiri tegak di tengah lapangan, dilumuri pelicin agar sulit dipanjat, sementara di ujung tiang diletakkan makanan dan pakaian; dua barang paling berharga di zaman penjajahan.

Meski lomba panjat tiang itu diadakan untuk merayakan ulang tahun Ratu Belanda, tapi peserta lomba tersebut adalah orang-orang lokal (Nusantara). Sementara warga Belanda, yang merupakan penjajah waktu itu, menjadi penonton yang bersorak-sorai di pinggir lapangan. Mereka tidak ikut memanjat tiang. Bisa karena tak mau kotor kena pelicin tiang, bisa pula karena... “kenapa kami harus repot-repot mendapatkan sesuatu yang bisa kami dapatkan dengan mudah?”

Jadi, orang-orang Belanda di masa itu asyik duduk-duduk di pinggir lapangan, sementara orang-orang Nusantara bahu membahu memanjat tiang demi mendapat pakaian dan makanan, yang mengiming-imingi mereka di puncak. Orang-orang Nusantara berpeluh keringat, orang-orang Belanda bersorak-sorai. Orang-orang Nusantara berjatuhan dengan tubuh kotor, orang-orang Belanda tertawa gembira.

Di masa itu, lomba panjat tiang bukan simbol kemerdekaan—ia simbol penindasan.

Bagi para penindas, para penjajah—seperti kolonial Belanda di zaman itu—menyaksikan orang berpeluh keringat dan berjatuhan untuk mendapat sesuatu yang remeh adalah hiburan menyenangkan. Sambil menyesap bir di pinggir lapangan, mereka membuktikan bahwa siapa kita sering kali bukan berdasarkan “apa yang kita kerjakan”, tapi “di mana kita dilahirkan”. Hidup bisa tak adil sejak asal.

Pelajaran hidup sering kali terkait konteks. Pada zaman penjajahan, lomba panjat pinang menjadi simbol penindasan. Di zaman kemerdekaan, lomba panjat pinang menjadi simbol perjuangan. Kini, di zaman kontemporer, apa yang bisa diajarkan lomba panjat pinang?

Kita menyaksikan ribuan orang yang setiap hari bangun saat matahari belum menyingsing, berangkat kerja, berdesakan dengan banyak orang lain di angkutan umum—dengan segala masalah sehari-hari antarmanusia—lalu seharian menghabiskan waktu di pabrik atau tempat kerja demi mendapat uang untuk menutup kebutuhan, membayar utang dan cicilan, lalu pulang ke rumah saat matahari mulai tenggelam.

Mereka serupa orang-orang yang memanjat batang pinang yang licin karena lumuran oli, hingga tubuh mereka sering kali kotor, bahkan kadang harus saling injak dengan orang lain, demi hal-hal yang sering kali tak seberapa—upah murah, jaminan kerja yang minim, ketiadaan fasilitas yang memadai, bahkan tak ada kepastian apakah besok masih bisa bekerja.

Di sisi lain, ada orang-orang yang asyik duduk di pinggir lapangan, menyesap bir dan menikmati pemandangan orang-orang yang saling memanjat.

Dari waktu ke waktu, kian banyak orang yang ingin ikut memanjat tiang. Karenanya, agar “lomba” itu makin seru, tiang yang sudah licin pun diguyur oli lain, agar semakin licin, sementara hadiah yang ada di ujung tiang tak pernah berubah. Persaingan kian ketat, jalan semakin sulit, sementara yang dipertaruhkan tak pernah berubah.

Lomba panjat pinang mungkin salah satu pelajaran paling tua di muka bumi, terkait persaingan antarmanusia dalam meraih “hadiah”. Ribuan tahun lalu, lomba serupa telah diadakan di China, sejak zaman Dinasti Ming (1368-1644) hingga Dinasti Qing (1644-1911). Di sana, lomba itu disebut “qiang-gu”.

Wujud qiang-gu mirip lomba panjat pinang yang sekarang kita kenal. Batang pinang berdiri tegak di tengah lapangan, tinggi dan licin, sementara di ujung pinang terdapat hadiah. Masyarakat berlomba-lomba memanjat batang pinang demi mendapat hadiah yang mengiming-imingi di puncak... saling injak, berpeluh keringat, bahkan kadang jatuh dan terluka, ada pula yang tewas.

Karenanya, otoritas kerajaan di masa itu melarang anggota istana dan kaum bangsawan ikut lomba panjat pinang, dan lomba itu hanya diperuntukkan untuk rakyat jelata. Oh, well, benar-benar “pelajaran” yang luar biasa.

Related

Indonesia 8980378634875536242

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item