Apakah Jodoh atau Pasangan Merupakan Takdir?

Ilustrasi/ublik.id
Banyak orang percaya bahwa jodoh atau pasangan hidup kita adalah hasil takdir; percaya bahwa ada seseorang di luar sana yang kelak akan menjadi pasangan kita, dan tinggal menunggu untuk bertemu, saling jatuh cinta, dan berpasangan—entah kapan, entah di mana, entah bagaimana caranya.

Jika kita percaya bahwa jodoh merupakan takdir, kita tidak sendirian. Bahkan di negara semacam Amerika pun banyak orang yang percaya bahwa jodoh merupakan takdir. Survei yang pernah dilakukan Marist College menemukan 73% orang Amerika percaya pada konsep jodoh sebagai jalinan takdir.

Karena ada orang yang percaya bahwa jodoh merupakan takdir, tentu ada pula orang yang percaya bahwa jodoh tak terkait takdir. Manakah yang benar? Tidak ada yang salah, tentu saja, tapi keyakinan terkait hal ini akan ikut menuntun kita dalam menemukan pasangan... atau tidak menemukan pasangan. 

Kenyataan itu diungkap oleh seorang peneliti bernama Raymond Knee, yang melakukan penelitian khusus terkait hal ini, dan menemukan dua tipe orang yang percaya pada konsep jodoh; bahwa jodoh merupakan takdir, dan bahwa jodoh tak terkait takdir.

Tipe pertama adalah orang yang percaya bahwa dirinya telah ditakdirkan untuk seseorang di luar sana, dan ada seseorang yang telah ditakdirkan untuknya. Sementara tipe kedua adalah orang yang percaya bahwa hubungan memiliki proses tersendiri, dan membutuhkan upaya-upaya tertentu untuk menumbuhkan perasaan cinta.

Dalam penelitian Raymond Knee, orang yang percaya bahwa jodoh merupakan takdir—bahwa seseorang di luar sana telah ditakdirkan untuknya—cenderung mengalami perpisahan ketika menjalin hubungan dengan seseorang, mudah menyerah terkait pasangan yang dimiliki sekarang, dan mengalami hubungan yang sulit.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena orang yang percaya bahwa jodoh merupakan takdir cenderung menggunakan energinya untuk terus bertanya-tanya, “Apakah orang ini (yang sedang menjalin hubungan dengannya) benar-benar untukku? Inikah hal terbaik yang bisa kulakukan? Ini saja?”

Sementara orang yang percaya bahwa jodoh bukan merupakan takdir—yang memahami bahwa hubungan harus dibina untuk menghasilkan cinta—memiliki pertanyaan yang berbeda, misalnya, “Apakah kami sudah cukup serasi? Bagaimana aku bisa menjadi pasangan yang lebih baik? Bagaimana caranya agar kami semakin dekat? Apa yang bisa kulakukan untuk membuat hubungan ini semakin baik?”

Jika kita termasuk orang yang percaya bahwa hanya ada satu orang di luar sana yang telah ditakdirkan sebagai pasangan, kita akan cenderung menghabiskan waktu dan energi untuk mencari sosok tersebut, daripada membina hubungan yang ada.

Ketika menjalin hubungan, orang yang percaya bahwa jodoh merupakan takdir memang sangat bergairah, intens, dan berapi-api, khususnya saat hubungan masih seumur jagung. Tapi sering kali jadi kecewa dan frustrasi ketika ada satu saja yang tidak beres di dalamnya. Mereka terus mencari orang yang sempurna—sosok entah siapa di luar sana—dan berpikir bahwa sesuatu yang negatif telah terjadi di dalam hubungan yang sedang dibina. Mereka pun lalu memutuskan pergi, untuk menemukan orang baik lainnya.

Berbeda dengan orang-orang yang percaya bahwa hubungan harus dibina, mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk berkomitmen. Di awal hubungan, mereka akan berusaha mencari solusi, kompromi, dan mengeksplorasi ide-ide baru. Mereka cenderung melihat kompromi sebagai pengorbanan, dan berpikir ketika sesuatu yang negatif terjadi di dalam hubungan yang sedang dibina, lebih baik mencari penyelesaiannya.

Jadi, termasuk yang manakah kita?

Related

Sains 3160202845496386606

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item