Pacaran adalah Jebakan Evolusi, Apa Maksudnya?

Ilustrasi/okezone.com
Di Twitter, sekian waktu lalu, ada tweet viral berisi video sepasang remaja yang sedang asyik pacaran, tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya. Tweet video itu dilengkapi kapsi yang sarkastik, “Gini amat ngontrak di bumi.” Maksudnya, orang yang sedang mabuk cinta biasanya menganggap dunia hanya milik dia dan pasangannya, sementara orang lain dianggap numpang ngontrak.

Saya meng-quote tweet video itu, dan menulis komentar, “Yang dilihat orang-orang: Sepasang remaja pacaran. Yang aku lihat: Sepasang remaja terperangkap jebakan evolusi.”

Apa maksud “terperangkap jebakan evolusi”? Penjelasannya panjang, dan karena itulah saya tulis di sini. [Sambil nunggu udud habis, tentu saja.]

Manusia, sebagai makhluk biologis, dikendalikan bahkan ditundukkan oleh tuntutan evolusi. Dan salah satu tuntutan evolusi adalah bereproduksi, atau beranak-pinak, agar kehidupan manusia tetap terjaga, dan terus berkembang. Evolusi adalah bagian dari hukum alam, dan yang ada di alam terikat pada hukum ini.

Agar makhluk-makhluk hidup, khususnya manusia, tunduk pada hukum alam tadi, evolusi merancang “perangkap”. Dan perangkap yang paling terkenal adalah sesuatu yang kita sebut “jatuh cinta”. 

Bagaimana perasaan “jatuh cinta” bisa terjadi? Jawabannya panjang sekaligus rumit, melibatkan aneka hormon dalam tubuh, manipulasi otak, sampai ke relung-relung terdalam psikologi manusia. Intinya, agar sepasang pria dan wanita mau melakukan reproduksi sebagaimana yang diinginkan evolusi, mereka—sepasang pria dan wanita—harus saling tertarik satu sama lain, dan kita menyebutnya “jatuh cinta”.

Jadi, ketika seorang pria dan seorang wanita saling tertarik satu sama lain, mereka akan saling mendekat, lalu saling mabuk kepayang, hingga ingin terus berdekatan dan bersentuhan. Tujuan intinya, kita semua tahu, adalah hubungan seks. Ketika hubungan seks terjadi, proses reproduksi dimulai... dan itulah yang diinginkan evolusi!

Memang, di dunia modern sekarang, hubungan seks tidak selalu berarti bertujuan reproduksi. Tapi hubungan seks adalah cara alam untuk menghasilkan makhluk baru. Dalam konteks manusia, hubungan seks adalah cara agar sepasang manusia bisa melahirkan keturunan, dan itulah tujuan evolusi; berkembang biak, beranak pinak, agar kehidupan terus berlangsung.

Masalahnya adalah... evolusi sangat licik, sekaligus berbahaya. Ketika masih belia atau masih remaja, tubuh kita dibanjiri hormon seks dalam jumlah sangat besar, tapi kemampuan kita mengendalikan diri sangat rendah. Bisa melihat konsekuensinya?

Kita yang saat ini sudah matang dan dewasa—katakanlah berusia 35 tahun ke atas—pasti tahu bahwa hormon seks kita lebih rendah dibanding ketika puber atau masih remaja (ketika berusia belasan atau 20-an). Tetapi, karena sudah dewasa, kemampuan kita mengendalikan diri semakin baik, karena nalar telah [lebih] berkembang. Hasilnya, kita lebih mampu menjalani hidup dan mengatur diri sendiri dengan lebih baik dan positif, dibanding ketika masih remaja.

Evolusi tahu hal itu. Karenanya, evolusi sengaja menjebak kita dengan membanjiri hormon seks dalam jumlah sangat banyak ke tubuh kita ketika masih remaja, ketika kemampuan kita mengendalikan diri masih sangat rendah. Jika diterjemahkan ke bahasa kita, maksud evolusi membanjiri hormon seks dalam jumlah luar biasa ketika kita masih remaja adalah, “Kalian pada ngeseks aja udah, nggak usah mikirin hal lain!”

Hasilnya, seperti yang kemudian kita saksikan, para remaja ingin punya pacar, ingin terus pacaran, akibat desakan hormon seks mereka yang mengamuk—sementara nalar mereka belum utuh. Itu seperti meletakkan granat aktif di tangan balita.

Dengan hormon seks yang sangat besar, sementara kemampuan mengendalikan diri sangat rendah, apa saja bisa terjadi... dan, sering kali, itulah yang memang terjadi. Tepat seperti yang diinginkan evolusi. Cowok remaja belasan tahun menghamili pacarnya yang juga remaja belasan tahun. 

Ketika sepasang remaja akhirnya memiliki anak, tujuan evolusi tercapai, dan evolusi tidak peduli bagaimana nasib mereka selanjutnya. 

Latar belakang itulah yang saya sebut “jebakan evolusi”. Dalam perspektif saya, pacaran adalah jebakan evolusi yang berusaha memerangkap kita masuk ke dalamnya, demi tercapainya tujuan evolusi; bereproduksi, dan menghasilkan keturunan. 

[Kelak, jika sewaktu-waktu saya menemukan pasangan, dan kami pacaran, misalnya, saya juga akan menyadari bahwa saya masuk dalam “jebakan evolusi”. Tetapi, setidaknya, saya sudah dewasa untuk menghadapi jebakan itu, sehingga lebih mampu mengendalikan diri dalam hubungan yang dijalani.]

Itu uraian dari perspektif biologi. Tetapi, manusia bukan hanya makhluk biologis; manusia juga makhluk yang mengenal moral, budaya, dan konstruksi sosial. Di bagian inilah kita menghadapi masalah yang tidak dihadapi makhluk-makhluk hidup lain, dalam hal ini hewan dan tumbuhan.

Hewan dan tumbuhan, seperti juga manusia, tunduk pada hukum evolusi. Mereka juga dituntut untuk berkembang biak dan beranak-pinak, bahkan dengan segala macam cara. Di dunia hewan, ada berbagai cara “pacaran” di antara hewan jantan dan hewan betina—oh, sebagian mereka juga mengenal “pedekate” sebagaimana manusia—lalu pacaran, dan kawin, dan beranak pinak. Sementara tumbuhan berkembang biak alias kawin dengan cara seksual dan aseksual. Intinya sama; makhluk hidup dituntut kawin dan berkembang biak!

Sepasang hewan kawin, ketika mereka merasa cocok. Keduanya tertarik, lalu pacaran, kawin (melakukan hubungan seks), lalu si betina melahirkan anak. Tanpa undangan resepsi, tentu saja. Dan tanpa harus mendaftar ke KUA. Begitu pula ketika tumbuhan melakukan perkawinan. Mereka kawin tanpa ribut-ribut. 

Masalahnya, manusia tidak bisa melakukan hal serupa itu, karena kita makhluk berbudaya. Ketika sepasang manusia, pria dan wanita, saling tertarik dan jatuh cinta, mereka memiliki insting yang sama seperti hewan, yakni keinginan untuk melakukan hubungan seks, atau bereproduksi. Tetapi, berbeda dengan hewan yang bisa melakukannya kapan saja, manusia menghadapi aneka aturan dan norma.

Jadi, di satu sisi, kita dituntut evolusi untuk tertarik pada seseorang, lalu melakukan reproduksi bersamanya. Di sisi lain, kita menghadapi aneka aturan yang dibuat negara dan konstruksi sosial. Dalam hal ini, kebudayaan dan hukum negara sudah menyediakan perangkat. Siapa pun boleh melakukan reproduksi [berhubungan seks] jika sudah menikah secara sah menurut hukum negara dan hukum agama. 

Apakah terdengar mudah? Belum tentu. Karena manusia adalah makhluk yang jauh lebih rumit dibanding hewan dan tumbuhan. 

Hewan dan tumbuhan hidup hanya untuk satu tujuan, dan selaras dengan tuntutan evolusi, yaitu kawin dan berkembang biak. Sudah, hanya itu. Tidak ada hewan yang punya cita-cita jadi dokter atau PNS, misalnya. Juga tidak ada tumbuhan yang punya impian traveling ke berbagai negara. Bahkan ketika mereka menemukan jodoh, lalu kawin, mereka hanya kawin saja, tanpa menghadapi masalah dengan mertua, tanpa merisaukan apakah gajinya cukup, atau tetek bengek semacamnya.

Hal itu berbeda, bahkan jauh berbeda, dengan manusia. Ketika sepasang manusia memutuskan untuk kawin, mereka harus menyiapkan aneka hal, selain kesiapan fisik dan psikis. Ada orang yang, misalnya, masih mengejar karier atau pendidikan. Karenanya, meski sudah punya pacar, memutuskan tidak buru-buru menikah. Ada pula orang yang mungkin sudah siap menikah, tapi penghasilannya masih pas-pasan, hingga merasa belum siap, dan lain-lain.

Manakah yang lebih baik; menikah dengan kesiapan, atau menikah tanpa kesiapan? Jawabannya bisa sangat relatif, tergantung orang per orang, sekaligus kondisi yang mereka hadapi, sehingga tidak bisa disamaratakan... dan bukan itu poin pentingnya.

Poin penting yang ingin saya katakan adalah, seperti penjelasan awal tadi, bahwa jatuh cinta, dan pacaran, adalah jebakan evolusi. Jatuh cinta bukan perasaan magis, itu hanyalah tuntutan biologis. Apakah salah? Tentu saja tidak, wong itu bagian dari hukum alam. Tetapi, menyadari kenyataan ini, setidaknya kita selangkah lebih baik dalam menghadapi perasaan jatuh cinta yang mungkin kita alami, sehingga lebih memiliki kesadaran.

Bahwa jatuh cinta itu hal biasa, bahwa pacaran itu hal biasa. Karenanya, jika ada hal lain yang kita anggap lebih penting daripada sekadar pacaran, kita bisa memilih memprioritaskan hal yang penting terlebih dulu, dan menunda pacaran. Meraih cita-cita, misalnya. Atau mengejar pendidikan. Atau meruntuhkan peradaban.

Karena, ketika sepasang pria dan wanita berpacaran, yang ada dalam pikiran mereka hanya hal-hal terkait reproduksi, terlepas mereka sadar atau tidak. Karenanya banyak remaja yang sebenarnya masih di bawah umur tapi sudah menikah. Apakah masalah? Tidak juga, kalau mereka dapat melangsungkan hubungannya dengan baik, merawat rumah tangga dengan penuh tanggung jawab, membesarkan dan mendidik anak-anak yang kemudian mereka miliki dengan cinta kasih, dan... daftarnya masih panjang. 

Pertanyaannya, dengan usia mereka yang masih sangat belia, dengan kesadaran yang belum matang serta dewasa, apakah mereka akan mampu melakukannya?

Saya masih ingin melanjutkan catatan ini, karena masih sangat panjang, tapi udud sudah habis. Sebagai penutup, saya ingin mengutip Slavoj Žižek, filsuf kontemporer Yugoslavia, “Love is not the solution to the problem of desire; it is the problem.” 

Related

Hoeda's Note 8918711085506405710

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item