Tidak Ada Orang Kaya dari Main Togel, Ini Sebabnya

Ilustrasi/tribunnews.com
Dua tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 sedang mengamuk di dunia, saya benar-benar tidak ingin keluar rumah. Alasannya jelas, karena tidak ingin tertular virus. Waktu itu, informasi mengenai virus Covid-19 masih simpang siur, jadi saya belum punya pegangan pasti mengenai apa yang akan saya alami dan apa yang harus dilakukan jika terkena virus. Intinya, sebisa mungkin, saya tidak ingin ke mana-mana.

Di waktu-waktu itulah, saya menggunakan layanan pesan antar makanan (GoFood atau GrabFood) untuk kebutuhan makan sehari-hari, agar tidak perlu keluar rumah dan keluyuran untuk cari makan. Sampai cukup lama saya menikmati ketenangan di rumah, dengan badan sehat walafiat, tak tersentuh virus apapun, sampai kemudian sebuah telepon datang... dan menarik saya dalam petualangan maut.

Ketika ponsel berbunyi, waktu itu, dan mendapati nama yang muncul di layar, saya langsung tahu itu telepon penting. Setelah saling sapa sekadarnya, orang di telepon berkata, “Aku di kotamu sekarang. Sedang makan di Foodpedia.” Dia lalu menyebutkan dua orang yang juga saya kenal, yang waktu itu bersamanya, dan mengatakan, “Datanglah ke sini.”

Foodpedia adalah nama kafe dengan tempat parkir luas—sebenarnya ada di Batang, tetangga kota saya, tapi dia mungkin tidak tahu. Saat itu juga, saya keluar rumah, meluncur ke sana, dan mendapati tiga orang yang telah menunggu. Mereka tersenyum lebar saat saya datang, dan orang yang tadi menelepon saya mengatakan, “Aku baru menjemput mereka, dan sekarang menjemputmu.”

Saya duduk di salah satu kursi, dan bertanya, “What happen?”

Dia mengeluarkan sebuah berkas, dan menjelaskan maksudnya. Intinya, kami mendapat pekerjaan investigasi terkait pandemi, dan itu artinya kami harus pergi ke tempat penyebaran virus.

Setelah membaca berkas itu sekilas, saya menatap mereka, dan berkata, “Selama berhari-hari, aku mengurung diri di rumah, demi terhindar dari virus. Dan sekarang kalian mengajakku ke tempat virus keparat itu?”

Melihat keengganan saya, salah satu dari mereka menyodorkan cek. Saya menerima cek itu, melihat nominalnya yang sangat besar, dan tiba-tiba jadi bimbang. Sebelum saya sempat memutuskan, dia mengatakan, “Itu half payment. Sisanya akan dibayar setelah pekerjaan selesai.”

Sebelumnya, saya telah bekerja bersama mereka, jadi kami saling percaya. Akhirnya, setelah bercakap-cakap lebih lanjut, saya pun memutuskan, “Oke, aku ikut.”

Selama sebulan kemudian, kami menjalani pekerjaan itu, yang mungkin lebih tepat disebut “petualangan maut”, karena benar-benar mempertaruhkan nyawa. Semua dari kami terpapar virus, waktu itu, dan saya merasa “mau mati” ketika ikut tertular—badan terasa tak bertenaga, letih luar biasa, indra penciuman hilang, sementara demam terasa sangat menyiksa. 

Tetapi, sejak awal saya sadar, itu memang risiko yang harus kami hadapi. Saya yang memutuskan untuk keluar rumah dan menerima pekerjaan itu. Jadi, ketika akhirnya tertular virus dan merasa mau mati, saya tidak mengeluh. Karena... bayarannya sepadan! Belakangan, puji syukur, saya kembali sehat, sampai sekarang, bahkan bisa menceritakan kisah ini.

Dan kisah ini adalah ilustrasi nyata bahwa orang kadang bersedia melakukan hal gila—dalam konteks ini berurusan dengan virus berbahaya—ketika mendapat tawaran yang layak. Uang besar adalah motivasi besar. Meski begitu, ada hal penting yang harus digarisbawahi di sini; saya mendapat bayaran besar, karena melakukan pekerjaan! 

Faktanya, ada pekerjaan-pekerjaan yang memberikan bayaran sangat besar, karena pekerjaan itu memang sulit, berbahaya, atau hanya orang-orang tertentu yang mampu melakukan. Karenanya, banyak orang yang melatih skill untuk menguasai kemampuan-kemampuan tertentu, agar bisa bekerja di bidang profesi yang memberi penghasilan besar. Dokter spesialis, misalnya, mendapat bayaran besar, karena butuh skill yang tidak dimiliki banyak orang. Di dunia pekerjaan atau profesi, itu hal biasa, dan bukan masalah.

Yang bermasalah adalah ketika orang mengharapkan banyak uang tanpa mau bekerja, dan menyandarkan harapannya pada sesuatu yang bersifat untung-untungan, misalnya lewat judi togel.

Ketika orang berharap mendapat banyak uang tanpa mau bekerja, awal kerusakan dimulai. Karena harapan mendapat banyak uang tanpa kerja, aneka kejahatan terjadi (pembegalan, perampokan, dan lain-lain), berbagai kebodohan dimulai (semisal minta pertolongan dukun dan semacamnya), dan perjudian mewabah di mana-mana. Semuanya punya tujuan sama; ingin banyak uang tanpa harus bekerja. Dan itulah yang sekarang terjadi, khususnya di Indonesia.

Judi togel itu merusak, karena ia membuai angan-angan manusia. Hanya dengan menebak nomor, dan membayar sekian ribu rupiah, orang bisa mendapatkan hadiah jutaan rupiah. Tawaran yang menggiurkan. Dan berapa banyakkah orang yang kemudian kaya dari judi togel? Jawabannya sangat aneh, karena tidak ada—kecuali bandarnya!

Apakah kamu punya teman yang suka main judi togel dan berhasil kaya? Saya berani bertaruh, tidak ada yang punya teman seperti itu. Bukannya jadi kaya, para pemain togel malah kebanyakan bangkrut, terlilit utang, bahkan kadang sampai bunuh diri karena stres setelah kehilangan segalanya. 

Memang, ada waktu-waktu ketika seorang pemain togel mendapat kemenangan. Dan apakah dia kemudian menang lagi dan terus menang, hingga akhirnya kaya-raya? Tidak! Untuk satu kemenangan, dia menderita banyak kekalahan. Dan ketika berhasil menang, uangnya kembali digunakan untuk main, lalu hilang lagi. 

Bahkan, gara-gara kemenangan yang datang sesekali, pemain togel sampai rela menjual atau menggadaikan barang-barang berharga miliknya demi bisa terus main togel, karena berpikir, “Siapa tahu aku akan menang seperti kemarin, hingga semua modalku bisa kembali.”

Tapi modalnya tak pernah kembali, sementara ia semakin kecanduan. Ingat hormon dopamin dalam otak pemain togel, yang telah saya tuliskan di catatan sebelumnya (Judi Togel dan Impian Tolol Kaya Mendadak). Dan begitulah cara pemain togel semakin miskin dan semakin stres dan semakin bangkrut dan semakin gila.  

Sayangnya, kenyataan-kenyataan itu tidak juga membuka mata dan kesadaran orang-orang yang masiiih saja berharap dapat banyak uang dan kaya dari bermain togel. Mereka terus memupuk harapan, menghitung-hitung angka, berharap suatu waktu jadi pemenang, mengkhayal dapat banyak uang. Faktanya, tidak ada orang yang berhasil kaya dari bermain togel!

Sampai di sini, kalian mungkin ingin bertanya, “Kenapa tidak ada orang yang berhasil kaya dari bermain togel?”

Jawaban ilmiahnya, karena permainan togel tidak dirancang untuk membuat pemainnya menang terus menerus, apalagi sampai kaya! 

Pernahkah kalian memikirkan bagaimana permainan togel dijalankan? Itu bukan permainan adu nasib—antara pemain dan bandar—tapi sebenarnya permainan algoritma! Para pemain togel, yang rata-rata tolol, tidak tahu kenyataan ini, atau bahkan menyangkalnya!

Banyak pemain togel yang percaya mentah-mentah bahwa angka-angka yang keluar berasal dari hasil acak, semacam undian yang murni ditentukan nasib. Bahkan ada “pertunjukan live” yang memperlihatkan bagaimana angka-angka itu diperoleh; sepuluh bola—dengan masing-masing angka 0 sampai 9—dimasukkan ke dalam mesin, bergerak secara liar, lalu empat bola yang jatuh paling awal menjadi kombinasi angka yang menghasilkan pemenang.  

Apakah kalian percaya? Saya tidak! 

Bola-bola dalam mesin yang konon disebut “live” itu sebenarnya tidak live-live amat—cuma pemanis permainan untuk membodoh-bodohi para pecandu togel yang mau-maunya percaya kalau itu benar-benar live. Permainan yang sesungguhnya tidak terlihat, karena dirancang dan disusun dalam algoritma yang sangat rumit, yang hasil akhirnya adalah memenangkan bandar dan membangkrutkan semua pemain!

Pikirkan pertanyaan penting ini; mungkinkah para bandar bersedia mempertaruhkan kemenangan mereka dengan mengandalkan nasib semata-mata?

Togel adalah bisnis besar dengan modal besar dan biaya operasional yang sangat besar. Para bandar togel tidak akan berspekulasi dengan mengharapkan kemenangan lewat adu nasib seperti kita main ular tangga. Mereka harus memastikan kemenangan, dan untuk itu mereka tidak bisa mengandalkannya pada nasib mujur semata. Mereka sendiri yang harus merancang kemenangan itu!

Mari gunakan ilustrasi sederhana, agar uraian ini bisa lebih dipahami semua orang. 

Jika kita main ular tangga, misalnya, kita dan lawan main sama-sama meletakkan bidak di kotak awal, lalu mengocok dadu untuk menentukan berapa langkah bidak kita dapat berjalan. Ketika dadu dikocok dan kemudian jatuh, kita maupun lawan main sama-sama tidak tahu berapa titik yang akan keluar—bisa satu, dua, tiga, atau yang lain—karena semata-mata mengandalkan nasib. Dalam permainan ular tangga, itu permainan yang fair. Kita maupun lawan main sama-sama tidak tahu siapa yang akan jadi pemenang.

Sekarang pikirkan, mungkinkah bandar togel bersedia bermain secara fair semacam itu? Mungkinkah bandar togel mau berspekulasi dengan hanya mengandalkan nasib semata, padahal mereka harus membayar karyawan, membiayai operasional, dan lain-lain sebagainya, sementara mereka juga harus membayar pemain yang menang? Iya kalau yang menang hanya satu atau dua pemain, bagaimana kalau ada ratusan pemain yang menang sekaligus? 

Sekali lagi, pikirkan, mungkinkah bandar togel mau berspekulasi dengan cara permainan yang fair semacam itu? Jika jawabannya ya, saat ini tentu para bandar sudah bangkrut! Faktanya, para pemainlah yang bangkrut!

Karena permainan togel, nyatanya, bukan permainan adu nasib yang jujur—itu permainan algoritma yang dirancang untuk memenangkan bandar, dan membangkrutkan para pemain! Saya sangat yakin tentang hal ini, karena telah melakukan riset sangat mendalam, hingga sampai pada kesimpulan yang mencengangkan. 

Saya akan menjelaskan soal riset itu di catatan berikutnya.

Related

Hoeda's Note 1916650906944880724

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item