Sekejam Apa Perlakuan Manusia Pada Hewan?

Ilustrasi/liputan6.com
Kita pasti sudah sering membaca berita tentang perlakuan buruk manusia pada hewan peliharaan, misalnya anjing atau kucing. Karena banyaknya kasus semacam itu, sampai ada hukum yang kemudian mengaturnya, dan perbuatan jahat pada hewan bisa diancam pidana. Tapi bagaimana dengan perlakuan kejam manusia pada hewan-hewan lain? 

Gajah hidup terancam, karena gadingnya diincar manusia. Belakangan, gajah bahkan melakukan/mengalami evolusi menjadi gajah tanpa gading. Hal sama terjadi pada hewan-hewan lain, mereka diincar karena cula atau kulitnya, atau bagian tubuhnya yang lain. Bahkan paus yang ada di lautan pun tak terbebas dari ancaman manusia. Paus diburu dan dibunuh untuk diambil daging dan minyaknya.

Tetapi, bagaimana pun, kejahatan atau kekejaman manusia pada hewan-hewan dalam contoh tadi bisa terancam pidana. Kalau kita membunuh gajah untuk mengambil gadingnya, atau membunuh badak untuk mengambil culanya, atau membunuh harimau untuk mengambil kulitnya, kita bisa masuk penjara.

Sayangnya, ada kekejaman manusia pada hewan-hewan lain yang bisa dibilang aman, karena mungkin tak terlihat, dan—bisa jadi—kita semua ikut terlibat di dalamnya.

Mari ambil contoh yang paling terkenal; sapi.

Ada banyak sekali orang yang rutin mengonsumsi susu sapi, dan susu sapi telah menjadi industri berskala raksasa. Tapi kita yang mengonsumsi susu sapi setiap hari mungkin tidak pernah berpikir atau bertanya-tanya, bagaimana susu dalam jumlah luar biasa banyak itu bisa dihasilkan terus menerus?

Dalam industri susu, sapi bagaikan mesin yang terus diperas susunya. Industri peternakan, sebagaimana pola pikir di bisnis lain, terus berupaya meningkatkan efektivitas sapi perah dengan segala cara, dengan tujuan menghasilkan susu sebanyak-banyaknya. Pertanyaannya, tentu saja, bagaimana caranya? 

Uraian berikut ini mengambil contoh yang terjadi di Australia, ketika skandal ini terkuak hingga menjadi isu nasional.

Seperti manusia, sapi perah hanya memproduksi susu setelah melahirkan anak. Karenanya, sapi tidak bisa menghasilkan susu setiap hari begitu saja. Ia harus melahirkan anak terlebih dulu, agar tubuhnya menghasilkan susu. 

Karena kenyataan itu, para peternak memastikan berlangsungnya reproduksi sapi lewat inseminasi buatan, dengan sperma beku. Praktik ini dilakukan setiap tahun, dari waktu ke waktu, hingga sapi dianggap tidak lagi layak dijadikan hewan perah, dan dikirim ke rumah jagal untuk dipotong.

Fakta penting yang perlu kita tahu: Untuk memproduksi seliter susu, tubuh sapi harus mengolah 500 liter darah. Setiap tahun, rata-rata seekor sapi memproduksi 20.000 liter susu. Tingginya tingkat produksi susu ini memangkas usia sapi sangat banyak, hingga jadi rata-rata 5 tahun. Padahal sapi, dengan kehidupan normal, bisa hidup sampai 20 tahun.

Kembali ke bagian tadi. Sapi hanya bisa menghasilkan susu, jika melahirkan anak. Jika anak yang lahir adalah sapi jantan, peternak akan membunuhnya. Di Australia, praktik kejam ini legal. Padahal, sebagaimana manusia, induk sapi memiliki insting keibuan yang tinggi. Sapi selalu mengalami tekanan mental ketika bayinya diambil paksa, dan dipisahkan darinya.

Terkait hal itu, para peternak berdalih bahwa mereka sengaja memisahkan bayi sapi dari induknya begitu mereka lahir, karena akan sulit untuk memisahkan anak sapi yang telah besar, akibat hubungan emosional—induk dan anak—yang kuat. 

Secara alami, bayi sapi membutuhkan perhatian induknya untuk tumbuh. Karena itu, dalam kondisi normal, mereka selalu menempel induknya kemana pun sang induk pergi. Hubungan alami itu hilang (atau dihilangkan) di industri susu sapi. Setiap tahun, sekitar 700.000 anak sapi di Australia dibunuh ketika baru berusia lima hari. Cara-cara yang dipakai pun tergolong kejam. Bayi sapi dikumpulkan dan dibantai satu per satu dalam antrean panjang.

Ketika praktik kejam itu terungkap, publik Australia pun gempar. Berbagai protes dilayangkan ke para peternak sapi. Hasilnya, waktu itu, para peternak sapi mulai merawat bayi sapi dengan susu buatan, untuk kemudian dijadikan sapi potong. Tapi induknya tetap dipisahkan dari si anak—ingat, si induk harus menghasilkan susu untuk dijual sebagai komoditas. 

Sapi mungkin salah satu hewan dengan nasib sangat malang di muka bumi. Ketika baru lahir, ia sudah terancam pembunuhan. Jika bertahan hidup hingga dewasa, ia akan dipaksa untuk memproduksi susu tanpa henti. Agar ia bisa terus memproduksi susu, ia harus melahirkan anak. Dan begitu si anak lahir, si anak akan langsung dipisahkan darinya, yang entah akan bagaimana nasibnya.

Ketika akhirnya sapi dianggap sudah tak bisa menghasilkan susu, karena tubuhnya terus menerus dipaksa bekerja memproduksi susu tanpa henti, apa yang kemudian terjadi? Ia akan dijual sebagai sapi potong. Bahkan untuk itu pun, sapi masih harus menghadapi nasib mengerikan.

Dalam bisnis daging hewan, harga tidak hanya ditentukan dari kualitas daging, tapi juga beratnya. Karena daging hewan dijual per kilo. Semakin berat daging, semakin tinggi harganya. Para peternak mencari cara agar daging sapi potong yang mereka jual bisa memiliki berat/volume yang hasilnya menguntungkan. Bagaimana caranya? Dengan menggelonggong!

Yang dimaksud menggelonggong adalah memberi minum sapi sebanyak-banyaknya, hingga perutnya penuh terisi. Tapi sapi tentu tidak akan melakukan hal itu berdasarkan kemauannya sendiri. Maka peternak lalu memasukkan selang ke mulut sapi, lalu memompakan air ke dalamnya, sebanyak-banyaknya. Dalam proses itu, tidak jarang sapi sampai sekarat bahkan mati.

Praktik kejam semacam itu dilakukan para peternak, hingga muncul istilah “daging gelonggongan”. Kalian bisa searching soal ini di Google, dan akan menemukan banyak artikel, yang di antaranya menjelaskan cara membedakan daging sapi yang baik (sehat) dan daging sapi hasil gelonggongan.

Selain sapi, perlakuan kejam apa lagi yang dilakukan manusia kepada hewan? Jawabanya bisa macam-macam, tapi mari ambil hewan yang paling dekat dengan kita, yang juga biasa kita konsumsi. Ayam!

Sama seperti daging sapi atau daging hewan lain, harga daging ayam ditentukan berdasarkan beratnya. Karenanya, peternak ayam berpikir bagaimana cara memperberat daging ayam yang akan dijual, agar keuntungan makin besar. Peternak yang baik akan menggunakan cara-cara baik, semisal memberi pakan yang berkualitas hingga ayam tumbuh sehat dan besar. Tapi peternak yang buruk akan menggunakan cara yang buruk.

Apa yang dilakukan peternak yang buruk? Sehari sebelum ribuan ayam ternaknya akan dipanen (dipotong dan dijual), ayam-ayam itu tidak diberi makan sama sekali, selain hanya air untuk minum. Ayam-ayam itu pun gelisah di dalam kandang masing-masing, tak bisa ke mana-mana, dan kelaparan karena tidak ada apa pun yang bisa dimakan. 

Sementara itu, peternak akan membeli satu truk pasir.

Menjelang malam, semua lampu kandang ayam dimatikan. Satu truk pasir yang telah dibeli tadi dicampur dengan sedikit pakan ayam, lalu disebarkan ke kandang ribuan ayam yang siap dipanen. Ayam-ayam yang kelaparan itu pun dengan rakus memakan “umpan” yang disodorkan pada mereka—campuran pasir dengan sedikit pakan ayam—dalam keadaan gelap gulita.

Esok paginya, ketika ribuan ayam itu dipanen dan ditimbang, berat badan ayam-ayam itu naik secara drastis!

Di mana lagi bisa menjual pasir dalam hitungan gram dengan harga mahal, selain di tembolok ayam? Dan jika satu ekor ayam memakan paling sedikit 100 gram pasir, kalikan itu dengan ribuan atau bahkan jutaan ayam yang menyantapnya... yang dijual... yang kita makan. 

Hmm... ada yang mau menambahkan?

Related

Umum 1902020132628150543

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item